PERUBAHAN TERENCANA
RESISTENSI PERUBAHAN
Banyak masalah yang bisa terjadi ketika perubahan akan dilakukan. Masalah yang paling sering dan menonjol adalah “penolakan atas perubahan itu sendiri”. Istilah yang sangat populer dalam manajemen adalah resistensi perubahan (resistance to change). Penolakan atas perubahan tidak selalu negatif karena justru karena adanya penolakan tersebut maka perubahan tidak bisa dilakukan secara sembarangan.
Penolakan atas perubahan tidak selalu muncul dipermukaan dalam bentuk yang standar. Penolakan bisa jelas kelihatan (eksplisit) dan segera atau bisa juga tersirat (implisit), dan lambat laun.
Untuk keperluan analitis, dapat dikategorikan sumber penolakan atas perubahan, yaitu penolakan yang dilakukan oleh individual dan yang dilakukan oleh kelompok atau organisasional (Robbins, 2001):
a. Resistensi Individual, karena persoalan kepribadian, persepsi, dan kebutuhan, maka individu punya potensi sebagai sumber penolakan atas perubahan, seperti beberapa terkait: kebiasaan, rasa aman, faktor ekonomi, takut akan sesuatu yang tidak diketahui, dan persepsi.
b. Resistensi Organisasional, organisasi, pada hakekatnya memang konservatif. Secara aktif mereka menolak perubahan. Enam sumber penolakan atas perubahan yaitu:
1) Inersia Struktural
Artinya penolakan yang terstrukur. Organisasi, lengkap dengan tujuan, struktur, aturan main, uraian tugas, disiplin, dan lain sebagainya menghasilkan stabilitas. Jika perubahan dilakukan, maka besar kemungkinan stabilitas terganggu.
2) Fokus Perubahan Berdampak Luas
Perubahan dalam organisasi tidak mungkin terjadi hanya difokuskan pada satu bagian saja karena organisasi merupakan suatu sistem. Jika satu bagian diubah maka bagian lain pun terpengaruh olehnya. Jika manajemen mengubah proses kerja dengan teknologi baru tanpa mengubah struktur organisasinya, maka perubahan sulit berjalan lancar.
3) Inersia Kelompok Kerja
Walau ketika individu mau mengubah perilakunya, norma kelompok punya potensi untuk menghalanginya.
4) Ancaman Terhadap Keahlian
Perubahan dalam pola organisasional bisa mengancam keahlian kelompok kerja tertentu. Misalnya, penggunaan komputer untuk merancang suatu desain, mengancam kedudukan para juru gambar.
5) Ancaman Terhadap Hubungan Kekuasaan yang Telah Mapan.
Mengintroduksi sistem pengambilan keputusan partisipatif seringkali bisa dipandang sebagai ancaman kewenangan para penyelia dan manajer tingkat menengah.
6) Ancaman Terhadap Alokasi Sumberdaya
Kelompok-kelompok dalam organisasi yang mengendalikan sumber daya dengan jumlah relatif besar sering melihat perubahan organisasi sebagai ancaman bagi mereka.
Coch dan French Jr. (1948) mengusulkan ada enam taktik yang bisa dipakai untuk mengatasi resistensi perubahan, yaitu: (1) pendidikan dan komunikasi; (2) partisipasi; (3) memberikan kemudahan dan dukungan; (4) negosiasi; (5) manipulasi dan kooptasi; (6) paksaan.
PERUBAHAN TERENCANA
Perubahan terencana merupakan istilah yang pertama kali diperkenalkan oleh Kurt Lewin, untuk membedakan perubahan yang disengaja digerakkan dan direncanakan organisasi dengan perubahan yang berlangsung tidak disengaja.
Menurut Greenberg dan Baron (1997), terdapat beberapa faktor yang merupakan kekuatan dibelakang kebutuhan akan perubahan. Mereka memisahkan antara perubahan terencana dan perubahan tidak terencana. Mereka mendefiniskan:
1. Perubahan terencana adalah aktivitas yang dimaksudkan dan diarahkan dalam sifat dan desainnya untuk memenuhi tujuan organisasi.
2. Perubahan tidak terencana merupakan pergeseran dalam aktivitas organisasi karena adanya kekuatan yang sifatnya eksternal, di luar kontrol organisasi.
Menurut Mardikanto (2010) menyatakan bahwa perubahan terencana, pada hakekatnya merupakan suatu proses yang dinamis, yang direncanakan oleh seseorang (secara individual atau yang tergabung dalam suatu lembaga-lembaga sosial). Artinya, perubahan tersebut memang menuntut dinamika masyarakat untuk mengantisipasi keadaan-keadaan di masa mendatang (yang diduga akan mengalami perubahan) melalui pengumpulan data (baik yang aktual maupun yang potensial) dan menganalisisnya, untuk kemudian merancang suatu tujuan-tujuan dan cara mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan di masa mendatang.
Pendekatan klasik yang dikemukaan oleh Kurt Lewin (1951) mencakup tiga langkah dalam model perubahan terencana yaitu pertama : UNFREEZING the status quo, lalu MOVEMENT to the new state, dan ketiga REFREEZING the new change to make it pemanent Selama proses perubahan terjadi terdapat kekuatan-kekuatan yang mendukung dan yang menolak. Melalui strategi yang dikemukakan oleh Kurt Lewin, kekuatan pendukung akan semakin banyak dan kekuatan penolak akan semakin sedikit. Tiga langkah diuraikan sebagai berikut:
1. Unfreezing – Pencairan tingkat sekarang
Langkah ini merupakan persiapan untuk berubah. Hal melibatkan pemahaman bahwa perubahan adalah perlu, dan merupakan persiapan untuk pindah dari zone kenyamanan saat ini. Langkah yang pertama ini untuk menyiapkan diri kita, atau orang yang lain untuk perubahan (dan idealnya menciptakan suatu situasi perubahan yang kita inginkan).
Unfreezing juga merupakan upaya-upaya untuk mengatasi tekanan-tekanan dari kelompok penentang dan pendukung perubahan. Status quo dicairkan, biasanya kondisi yang sekarang berlangsung (status quo) diguncang sehingga orang merasa kurang nyaman.
2. MOVEMENT to the new state – Perpindahan ke tingkatan baru
Kurt Lewin sadar perubahan itu bukanlah suatu peristiwa, tetapi lebih suatu proses. Ia menyebutkan bahwa proses itu adalah suatu transisi (perpindahan ke tingkatan baru). Langkah yang kedua ini terjadi ketika kita membuat bahwa perubahan itu diperlukan. Orang-orang yang “tidak dibekukan/ dicairkan” akan menjadi bergerak ke arah perubahan yang diinginkan.
Pada tahap ini, secara bertahap (step by step) tapi pasti, perubahan dilakukan. Jumlah penentang perubahan berkurang dan jumlah pendukung bertambah. Untuk mencapainya, hasil-hasil perubahan harus segera dirasakan.
3. Refreezing
Langkah ini adalah menstabilitakan perubahan telah dibuat. Perubahan akan diterima dan dijadikan norma yang baru. Orang-orang akan membentuk hubungan baru dan menjadi yang nyaman dengan perubahan tersebut. Hal ini akan memerlukan waktu yang lama. Pada tahap ini jika berhasil, maka jumlah penentang akan sangat berkurang, sedangkan jumlah pendukung makin bertambah.
Rosyid (2009) menyatakan, tahap perubahan dan proses perubahan terencana yang menyertai sebagai berikut:
1. Fase eskploratif, yaitu organisasi menimbang dan memutuskan membuat perubahan spesifik dalam operasinya dan mengolakasikan sumberdaya- sumberdaya untuk merencanakan perubahan dalam membantu pemecahan perubahan. Tahap ini merupakan tahap dalam menumbukan kesadaran akan perlunya perubahan.
2. Fase perencanaan, yaitu proses perubahan yang terkait adalah mengumpulkan informasi agar dapat ditetapkan diagnosa masalah secara tepat, tujuan perubahan dan tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan.
3. Fase tindakan, yaitu tahap ini organisasi mengimplementasikan perubahan hasil perencanaan. Proses perubahan dirancang untuk menggerakkan organisasi dari keadaan sekarang menuju ke masa depan.
4. Fase integrasi, tahap ini segera dimulai begitu perubahan telah sukses diimplementasikan. Proses perubahan meliputi konsolidasi dan stabilisasi perubahan guna menguatkan perilaku baru, serta memonitor perubahan dan upaya-upaya perbaikan.
Menurut Mardikanto (2010) perubahan terencana selalu menuntut adanya perencanaan, pelaksanaan kegiatan yang direncakanan, dan evaluasi terhadap pelaksanaan dan hasil-hasil kegiatan yang telah dilaksanakan.
DAFTAR PUSTAKA
Coch, L. dan J.R.P. French, Jr., J.R.P. 1948. Overcoming Resistance to Change.
Greenberg, J. dan Baron, R. A., 1997. Behavior in organization: understanding and managing the human side of work.. Prenctice-Hall International. Inc. New Jersey. USA
Lewin. K, 1951, Field Theory in Social Science: Selected Theoretical Papers. New York Harper. New York. USA.
Mardikanto, Totok. 2010. Konsep-konsep Pemberdayaan Masyarakat. Fakultas Pertanian UNS-UPT Penerbitan dan Pencetakan UNS (UNS Press). Surakarta
Robbins, Stephern P. (2001). Organization Behavior, Concepts, Controversies, and Application. Seventh Edition, Englewood Cliffs dan PT. Prenhallindo. Jakarta
Rosyid, Muh. 2009. Perubahan Terencana. www.rosyid.info/2009/03/perubahan-terencana
catatankuliahS2
Senin, 22 November 2010
PENERIMA MANFAAT (BENEFICIARIES) PENYULUHAN DAN STAKEHOLDERS-NYA
PENERIMA MANFAAT (BENEFICIARIES) PENYULUHAN
DAN STAKEHOLDERS-NYA
PENERIMA MANFAAT DAN STAKEHOLDERS
Dalam arti luas penerima manfaat atau beneficiary adalah seseorang atau badan hukum yang menerima manfaat dari benefactor (sang penolong) (Wikipedia, 2010). Dalam Collins English Dictionary-Complete and Unabridged (HaperCollins Publisher, 2003), makna dari penerima manfaat adalah:
a. Arti luas: “a person who gains or benefit in some way from something”: seseorang yang mendapat keuntungan atau manfaat dalam beberapa hal dari segala sesuatu.
b. Dalam kesejahteraan sosial: “a person who receives government assistance social security beneficiary” : seseorang yang mendapatkan uang jaminan sosial dari bantuan pemerintah.
Stakeholders dalam arti luas adalah “a person, group, organization, or system who affects or can be affected by an organization’s actions”. (seseorang, grup, organisasi, atau sistem yang mempengaruhi atau dapat terpengaruh oleh suatu tindakan organisasi (Wikipedia, 2010).
Istilah stakeholders meluas dan dianggap menjadi idiom, ketika dituangkan konsep perencanaan partisipatif yang diawali dari kesadaran: “sebuah prakarsa pembangunan masyarakat sangat ditentukan oleh semua pihak yang terkait dengan prakarsa tersebut” (Wrihatnolo dan Dwidjowijoto, 2006).
PENERIMA MANFAAT DAN STAKEHOLDERS PENYULUHAN PERTANIAN
Dalam banyak kepustakaan penyuluhan (pertanian), selalu disebut adanya sasaran atau obyek penyuluhan pertanian, yaitu: petani dan keluarganya. Pengertian itu telah menempatkan petani dan keluarganya dalam kedudukan ”yang lebih rendah” dibanding para penentu kebijakan pembangunan pertanian, para penyuluh pertanian, dan pemangku kepentingan pembangunan pertanian yang lainnya (Mardikanto, 2010). Menurut Naskah Akademik Sistem Penyuluhan Pertanian (2005), maka sasaran penyuluhan pertanian menjadi tidak hanya petani dan keluarganya tetapi mencakup para pemangku kepentingan (stakeholders). Sasaran penyuluhan pertanian era Bimas adalah Kelompok Tani yang diistilahkan sebagai receiving mechanism dari Delivery system (Catur Sarana). Catur sarana yaitu:
1. Penyuluh Pertanian di Lapangan (PPL),yaitu sebagai pembawa informasi teknologi , mengajarkan pengetahuan dan keterampilan, mengikhtiarkan fasilitas, dan sebagainya melalui sistem kerja Latihan dan Kunjungan (LAKU) kepada kelompok tani;
2. BRI Unit Desa, sebagai penyedia Kredit BIMAS untuk kegiatan usahatani padi;
3. BUUD dan KUD sebagai penyedia sarana produksi, pupuk, pestisida dan sarana pertanian lainnya serta membeli gabah/beras dari petani;
4. KIOS, sebagai tempat penyaluran sarana produksi pertanian kepada petani.
Sasaran penyuluhan menurut UU No. 16 Tahun 2006, Bab III, Pasal 5 sebagai berikut:
1. Pihak yang paling berhak memperoleh manfaat penyuluhan meliputi sasaran utama dan sasaran antara;
2. Sasaran utama penyuluhan yaitu pelaku utama dan pelaku usaha;
3. Sasaran antara penyuluhan yaitu pemangku kepentingan lainnya, yang meliputi kelompok atau lembaga pemerhati pertanian, perikanan dan kehutanan serta generasi muda dan tokoh masyarakat.
Mardikanto (1996) mengganti istilah “sasaran penyuluhan” menjadi penerima manfaat (beneficiaries).
Dalam pengertian “penerima manfaat” tersebut, terkandung makna bahwa:
1. Berbeda dengan kedudukannya sebagai “sasaran penyuluhan”, sebagai penerima manfaat, petani dan keluarganya memiliki kedudukan yang setara dengan penentu kebijakan, penyuluh dan pemangku kepentingan agribisnis yang lain.
2. Penerima manfaat bukanlah obyek atau “sasaran tembak” yang layak dipandang rendah oleh penentu kebijakan dan para penyuluh, melainkan ditempatkan pada posisi terhormat yang perlu dilayani dan atau difasilitasi sebagai rekan sekerja dalam mensukseskan pembangunan pertanian.
3. Berbeda dengan kedudukannya sebagai “sasaran penyuluhan” yang tidak punya pilihan atau kesempatan untuk menawar setiap materi yang disuluhkan selain harus menerima/mengikutinya, penerima manfaat memiliki posisi tawar yang harus dihargai untuk menerima atau menolak inovasi yang disampaikan penyuluhnya.
4. Penerima manfaat tidak berada dalam posisi di bawah penentu kebijakan dan para penyuluh, melainkan dalam kedudukan setara dan bahkan sering justru lebih tinggi kedudukannya, dalam arti memiliki kebebasan untuk mengikuti ataupun menolak inovasi yang disampaikan oleh penyuluhnya.
5. Proses belajar yang berlangsung antara penyuluh dan penerima manfaatnya bukanlah bersifat vertikal (penyuluh menggurui penerima manfaatnya), melainkan proses belajar bersama yang partisipatip.
Dari pengertian tentang penyuluhan pertanian sebagai sistem agribisnis yang disampaikan oleh Mardikanto (2003), jelas bahwa kegiatan penyuluhan pertanian akan melibatkan banyak pemangku kepentingan (stakeholders).
Di samping itu, keberhasilan penyuluhan pertanian tidak hanya tergantung pada efektivitas komunikasi antara penyuluh dan petani beserta keluarganya, tetapi sering lebih ditentukan oleh perilaku/ kegiatan pemangku kepentingan pertanian yang lain, seperti: produsen sarana produksi, penyalur kredit usaha-tani, peneliti, akademisi, aktivis LSM, dll. yang selain sebagai agent of development sekaligus juga turut menikmati manfaat kegiatan penyuluhan pertanian.
Di pihak lain, banyak pengalaman menunjukkan bahwa kelambanan penyuluhan pertanian seringkali tidak disebabkan oleh perilaku kelompok “akar rumput” (grass-roots), tetapi justru lebih banyak ditentukan oleh perilaku, kebijakan dan komitmen “lapis atas” untuk benar-benar membantu/melayani (masyarakat) petani agar mereka lebih sejahtera.
Bertolak dari kenyataan-kenyataan tersebut, penerima manfaat penyuluhan pertanian dapat dibedakan dalam:
1. Pelaku utama. yang terdiri dari petani dan keluarganya.
Dikatakan demikian, karena pelaku utama usahatani adalah para petani dan keluarganya, yang selain sebagai juru-tani, sekaligus sebagai pengelola usahatani yang berperan dalam memobilisasi dan memanfaatkan sumberdaya (factor-faktor produksi) demi tercapainya peningkatan dan perbaikan mutu produksi, efisiensi usahatani serta perlindungan dan pelestarian sumberdaya-alam berikut lingkungan hidup yang lain.
2. Penentu kebijakan, yang terdiri dari aparat birokrasi pemerintah (eksekutif, legislatif dan yudikatif) sebagai perencana, pelaksana, dan pengendali kebijakan pembangunan pertanian. Termasuk dalam kelompok penentu kebijakan adalah, elit masya-rakat sejak di aras terbawah (desa) yang secara aktif dilibatkan dalam pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan pembangunan pertanian.
3. Pemangku kepentingan yang lain, yang mendukung/memperlancar kegiatan pembangunan pertanian. Termasuk dalam kelompok ini adalah,
a. Peneliti yang berperan dalam: penemuan, pengujian, dan pengembangan inovasi yang diperlukan oleh pelaku utama
b. Produsen sarana produksi dan peralatan/mesin pertanian, yang dibutuhkan untuk penerapan inovasi yang dihasilkan para peneliti
c. Pelaku-bisnis (distributor/penyalur/pengecer) sarana produksi dan peralatan/mesin pertanian yang diperlukan, dalam jumlah, mutu, waktu, dan tempat yang tepat, serta pada tingkat harga yang terjangkau oleh pelaku utama.
d. Pers, media-masa dan pusat-pusat informasi yang menyebar-luaskan informasi-pasar (permintaan dan penawaran serta harga produk yang dihasilkan dan dibutuhkan), inovasi yang dihasilkan para peneliti, serta jasa lain yang diperlukan pelaku utama
e. Aktivis LSM, tokoh masyarakat, dll yang berperan sebagi organisator, fasilitator, dan penasehat pelaku utama
f. Budayawan, artis, dan lain-lain yang berperan dalam diseminasi inovasi, serta promosi produk yang dihasilkan maupun yang dibutukan pelaku utama.
Istilah penerima manfaat dan pemangku kepentingan penyuluhan juga identik dengan “klien penyuluhan”. Menurut Lionberger dan Gwin (1982), para penyuluh perlu bekerjasama dengan berbagai pihak dalam kegiatan pelayanan pembangunan pertanian. Termasuk dalam kelompok ini adalah para penyalur pupuk, pestisida, pengembang benih, penyedia kredit dan mereka yang terlibat dalam lembaga-lembaga pertanian yang memiliki hubungan dengan pemerintah (seperti: koperasi, kelompok tani, Pusat Pelestarian Alam, dan sebagainya) atau sering disebut dengan “klien penyuluh”. Lembaga-lembaga pelayanan dan pemberi informasi yang baik, akan sangat membantu dalam pemberian informasi kepada petani.
Mosher dalam Lionberger dan Gwin (1982), menyebutkan adanya klien yang lain yang disebut sebagai pengatur (conditioner). Mereka itu tidak memiliki jabatan apa pun dalam kelembagaan pertanian maupun lembaga pelayanan, akan tetapi memegang/memiliki kedudukan dan pengaruh yang kuat dalam kehidupan masyarakat setempat. Termasuk di dalam kelompok pengatur ini adalah: para pemuka agama, pejabat lokal, dan politisi yang berpengaruh. Meskipun bukan merupakan unsure esensial, tetapi dukungan mereka sangat membantu pembangunan pertanian. Mereka ini, akan selalu memegang teguh segala informasi yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, pada umumnya. Himbauan-himbauan mereka, umumnya selalu dihormati atau ditaati oleh masyarakatnya. Meskipun demikian, mereka jarang mengharapkan imbalan atau berlaku eksploitatif.
DAFTAR PUSTAKA
______. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2006, tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Pusat Pengembangan Penyuluhan Pertanian. Badan Pengembangan SDM Pertanian. Jakarta.
Lionberger, Herbert F. and Gwin, Paul H. 1989. Comunication Strategies-A Guide for Agricultural Change Agents/ Strategi Komunikasi-Pedoman bagi Penyuluh Pertanian. (terjemahan: Totok Mardikanto). Sebelas Maret University Press. Surakarta.
Mardikanto, Totok. 2010. Sistem Penyuluhan Pertanian. Program Studi Pemberdayaan Masyarakat-Program Studi Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Wrihatnolo, Randy R dan Dwidjowijoto, Riant N. 2006. Manajemen Pembangunan Indonesia, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta.
DAN STAKEHOLDERS-NYA
PENERIMA MANFAAT DAN STAKEHOLDERS
Dalam arti luas penerima manfaat atau beneficiary adalah seseorang atau badan hukum yang menerima manfaat dari benefactor (sang penolong) (Wikipedia, 2010). Dalam Collins English Dictionary-Complete and Unabridged (HaperCollins Publisher, 2003), makna dari penerima manfaat adalah:
a. Arti luas: “a person who gains or benefit in some way from something”: seseorang yang mendapat keuntungan atau manfaat dalam beberapa hal dari segala sesuatu.
b. Dalam kesejahteraan sosial: “a person who receives government assistance social security beneficiary” : seseorang yang mendapatkan uang jaminan sosial dari bantuan pemerintah.
Stakeholders dalam arti luas adalah “a person, group, organization, or system who affects or can be affected by an organization’s actions”. (seseorang, grup, organisasi, atau sistem yang mempengaruhi atau dapat terpengaruh oleh suatu tindakan organisasi (Wikipedia, 2010).
Istilah stakeholders meluas dan dianggap menjadi idiom, ketika dituangkan konsep perencanaan partisipatif yang diawali dari kesadaran: “sebuah prakarsa pembangunan masyarakat sangat ditentukan oleh semua pihak yang terkait dengan prakarsa tersebut” (Wrihatnolo dan Dwidjowijoto, 2006).
PENERIMA MANFAAT DAN STAKEHOLDERS PENYULUHAN PERTANIAN
Dalam banyak kepustakaan penyuluhan (pertanian), selalu disebut adanya sasaran atau obyek penyuluhan pertanian, yaitu: petani dan keluarganya. Pengertian itu telah menempatkan petani dan keluarganya dalam kedudukan ”yang lebih rendah” dibanding para penentu kebijakan pembangunan pertanian, para penyuluh pertanian, dan pemangku kepentingan pembangunan pertanian yang lainnya (Mardikanto, 2010). Menurut Naskah Akademik Sistem Penyuluhan Pertanian (2005), maka sasaran penyuluhan pertanian menjadi tidak hanya petani dan keluarganya tetapi mencakup para pemangku kepentingan (stakeholders). Sasaran penyuluhan pertanian era Bimas adalah Kelompok Tani yang diistilahkan sebagai receiving mechanism dari Delivery system (Catur Sarana). Catur sarana yaitu:
1. Penyuluh Pertanian di Lapangan (PPL),yaitu sebagai pembawa informasi teknologi , mengajarkan pengetahuan dan keterampilan, mengikhtiarkan fasilitas, dan sebagainya melalui sistem kerja Latihan dan Kunjungan (LAKU) kepada kelompok tani;
2. BRI Unit Desa, sebagai penyedia Kredit BIMAS untuk kegiatan usahatani padi;
3. BUUD dan KUD sebagai penyedia sarana produksi, pupuk, pestisida dan sarana pertanian lainnya serta membeli gabah/beras dari petani;
4. KIOS, sebagai tempat penyaluran sarana produksi pertanian kepada petani.
Sasaran penyuluhan menurut UU No. 16 Tahun 2006, Bab III, Pasal 5 sebagai berikut:
1. Pihak yang paling berhak memperoleh manfaat penyuluhan meliputi sasaran utama dan sasaran antara;
2. Sasaran utama penyuluhan yaitu pelaku utama dan pelaku usaha;
3. Sasaran antara penyuluhan yaitu pemangku kepentingan lainnya, yang meliputi kelompok atau lembaga pemerhati pertanian, perikanan dan kehutanan serta generasi muda dan tokoh masyarakat.
Mardikanto (1996) mengganti istilah “sasaran penyuluhan” menjadi penerima manfaat (beneficiaries).
Dalam pengertian “penerima manfaat” tersebut, terkandung makna bahwa:
1. Berbeda dengan kedudukannya sebagai “sasaran penyuluhan”, sebagai penerima manfaat, petani dan keluarganya memiliki kedudukan yang setara dengan penentu kebijakan, penyuluh dan pemangku kepentingan agribisnis yang lain.
2. Penerima manfaat bukanlah obyek atau “sasaran tembak” yang layak dipandang rendah oleh penentu kebijakan dan para penyuluh, melainkan ditempatkan pada posisi terhormat yang perlu dilayani dan atau difasilitasi sebagai rekan sekerja dalam mensukseskan pembangunan pertanian.
3. Berbeda dengan kedudukannya sebagai “sasaran penyuluhan” yang tidak punya pilihan atau kesempatan untuk menawar setiap materi yang disuluhkan selain harus menerima/mengikutinya, penerima manfaat memiliki posisi tawar yang harus dihargai untuk menerima atau menolak inovasi yang disampaikan penyuluhnya.
4. Penerima manfaat tidak berada dalam posisi di bawah penentu kebijakan dan para penyuluh, melainkan dalam kedudukan setara dan bahkan sering justru lebih tinggi kedudukannya, dalam arti memiliki kebebasan untuk mengikuti ataupun menolak inovasi yang disampaikan oleh penyuluhnya.
5. Proses belajar yang berlangsung antara penyuluh dan penerima manfaatnya bukanlah bersifat vertikal (penyuluh menggurui penerima manfaatnya), melainkan proses belajar bersama yang partisipatip.
Dari pengertian tentang penyuluhan pertanian sebagai sistem agribisnis yang disampaikan oleh Mardikanto (2003), jelas bahwa kegiatan penyuluhan pertanian akan melibatkan banyak pemangku kepentingan (stakeholders).
Di samping itu, keberhasilan penyuluhan pertanian tidak hanya tergantung pada efektivitas komunikasi antara penyuluh dan petani beserta keluarganya, tetapi sering lebih ditentukan oleh perilaku/ kegiatan pemangku kepentingan pertanian yang lain, seperti: produsen sarana produksi, penyalur kredit usaha-tani, peneliti, akademisi, aktivis LSM, dll. yang selain sebagai agent of development sekaligus juga turut menikmati manfaat kegiatan penyuluhan pertanian.
Di pihak lain, banyak pengalaman menunjukkan bahwa kelambanan penyuluhan pertanian seringkali tidak disebabkan oleh perilaku kelompok “akar rumput” (grass-roots), tetapi justru lebih banyak ditentukan oleh perilaku, kebijakan dan komitmen “lapis atas” untuk benar-benar membantu/melayani (masyarakat) petani agar mereka lebih sejahtera.
Bertolak dari kenyataan-kenyataan tersebut, penerima manfaat penyuluhan pertanian dapat dibedakan dalam:
1. Pelaku utama. yang terdiri dari petani dan keluarganya.
Dikatakan demikian, karena pelaku utama usahatani adalah para petani dan keluarganya, yang selain sebagai juru-tani, sekaligus sebagai pengelola usahatani yang berperan dalam memobilisasi dan memanfaatkan sumberdaya (factor-faktor produksi) demi tercapainya peningkatan dan perbaikan mutu produksi, efisiensi usahatani serta perlindungan dan pelestarian sumberdaya-alam berikut lingkungan hidup yang lain.
2. Penentu kebijakan, yang terdiri dari aparat birokrasi pemerintah (eksekutif, legislatif dan yudikatif) sebagai perencana, pelaksana, dan pengendali kebijakan pembangunan pertanian. Termasuk dalam kelompok penentu kebijakan adalah, elit masya-rakat sejak di aras terbawah (desa) yang secara aktif dilibatkan dalam pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan pembangunan pertanian.
3. Pemangku kepentingan yang lain, yang mendukung/memperlancar kegiatan pembangunan pertanian. Termasuk dalam kelompok ini adalah,
a. Peneliti yang berperan dalam: penemuan, pengujian, dan pengembangan inovasi yang diperlukan oleh pelaku utama
b. Produsen sarana produksi dan peralatan/mesin pertanian, yang dibutuhkan untuk penerapan inovasi yang dihasilkan para peneliti
c. Pelaku-bisnis (distributor/penyalur/pengecer) sarana produksi dan peralatan/mesin pertanian yang diperlukan, dalam jumlah, mutu, waktu, dan tempat yang tepat, serta pada tingkat harga yang terjangkau oleh pelaku utama.
d. Pers, media-masa dan pusat-pusat informasi yang menyebar-luaskan informasi-pasar (permintaan dan penawaran serta harga produk yang dihasilkan dan dibutuhkan), inovasi yang dihasilkan para peneliti, serta jasa lain yang diperlukan pelaku utama
e. Aktivis LSM, tokoh masyarakat, dll yang berperan sebagi organisator, fasilitator, dan penasehat pelaku utama
f. Budayawan, artis, dan lain-lain yang berperan dalam diseminasi inovasi, serta promosi produk yang dihasilkan maupun yang dibutukan pelaku utama.
Istilah penerima manfaat dan pemangku kepentingan penyuluhan juga identik dengan “klien penyuluhan”. Menurut Lionberger dan Gwin (1982), para penyuluh perlu bekerjasama dengan berbagai pihak dalam kegiatan pelayanan pembangunan pertanian. Termasuk dalam kelompok ini adalah para penyalur pupuk, pestisida, pengembang benih, penyedia kredit dan mereka yang terlibat dalam lembaga-lembaga pertanian yang memiliki hubungan dengan pemerintah (seperti: koperasi, kelompok tani, Pusat Pelestarian Alam, dan sebagainya) atau sering disebut dengan “klien penyuluh”. Lembaga-lembaga pelayanan dan pemberi informasi yang baik, akan sangat membantu dalam pemberian informasi kepada petani.
Mosher dalam Lionberger dan Gwin (1982), menyebutkan adanya klien yang lain yang disebut sebagai pengatur (conditioner). Mereka itu tidak memiliki jabatan apa pun dalam kelembagaan pertanian maupun lembaga pelayanan, akan tetapi memegang/memiliki kedudukan dan pengaruh yang kuat dalam kehidupan masyarakat setempat. Termasuk di dalam kelompok pengatur ini adalah: para pemuka agama, pejabat lokal, dan politisi yang berpengaruh. Meskipun bukan merupakan unsure esensial, tetapi dukungan mereka sangat membantu pembangunan pertanian. Mereka ini, akan selalu memegang teguh segala informasi yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, pada umumnya. Himbauan-himbauan mereka, umumnya selalu dihormati atau ditaati oleh masyarakatnya. Meskipun demikian, mereka jarang mengharapkan imbalan atau berlaku eksploitatif.
DAFTAR PUSTAKA
______. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2006, tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Pusat Pengembangan Penyuluhan Pertanian. Badan Pengembangan SDM Pertanian. Jakarta.
Lionberger, Herbert F. and Gwin, Paul H. 1989. Comunication Strategies-A Guide for Agricultural Change Agents/ Strategi Komunikasi-Pedoman bagi Penyuluh Pertanian. (terjemahan: Totok Mardikanto). Sebelas Maret University Press. Surakarta.
Mardikanto, Totok. 2010. Sistem Penyuluhan Pertanian. Program Studi Pemberdayaan Masyarakat-Program Studi Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Wrihatnolo, Randy R dan Dwidjowijoto, Riant N. 2006. Manajemen Pembangunan Indonesia, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta.
Selasa, 09 November 2010
MANFAAT PERENCANAAN, RUANG LINGKUP PERENCANAAN, MODEL PERENCANAAN, TAHAPAN PERENCAAN
MANFAAT PERENCANAAN
Menurut Friedmann, perencanaan akan berhadapan dengan problem mendasar yakni bagaimana teknis pengetahuan perencanaan yang efektif dalam menginformasikan aksi-aksi publik. Atas dasar tersebut maka perencanaan didefinisikan sebagai komponen yang menghubungkan antara pengetahuan dengan aksi/tindakan dalam wilayah publik. Pada prinsipnya. Friedmann menyatakan perencanaan harus bertujuan untuk kepentingan masyarakat banyak.
Perencanaan juga merupakan pekerjaan yang menyangkut wilayah publik maka komitmen seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) yang terlibat sangat dibutuhkan sehingga hasil perencanaan dapat dibuktikan dan dirasakan manfaatnya Beberapa manfaat perencanaan dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Sebagai informasi keputusan yang tepat untuk dilakukan
Perencanaan memberikan acuan dalam mempertimbangkan secara seksama tentang apa yang harus dilakukan dan bagaimana cara melaksanakannya. Di dalam kenyataan, terdapat banyak alternatif mengenai apa yang dapat dilakukan dan bagaimana cara melaksanakannya. Oleh sebab itu, dengan adanya acuan yang sudah “terpilih” akan memudahkan semua pihak untuk mengambil keputusan yang sebaik-baiknya.
2. Sebagai panduan kegiatan dan monitoring
Tersedianya acuan tertulis yang dapat digunakan untuk pelaksanaan program. Dengan adanya acuan tertulis, diharapkan dapat mencegah terjadinya salah pengertian (dibanding dengan pernyataan tertulis) dan dapat dikaji ulang (dievaluasi) setiap saat, sejak sebelum, selama, dan sesudah program dilaksanakan.
Sebagai pedoman pengambilan keputusan terhadap usul/saran penyempurnaan yang “baru”. Sepanjang perjalanan pelaksanaan program seringkali muncul sesuatu yang mendorong perlunya revisi penyempurnaan perencanaan program. Karena itu, dengan adanya pernyataan tertulis, dapat dikaji seberapa jauh usulan revisi tersebut dapat diterima/ditolak agar tujuan yang diinginkan tetap dapat tercapai, baik dalam arti jumlah, mutu dan waktu yang telah ditetapkan.
3. Sebagai rantai koordinasi
Perencanaan mencegah kesalahpahaman tentang tujuan akhir dan mengembangkan kebutuhan-kebutuhan yang dirasakan maupun yang tidak dirasakan. Perencanaan membantu pengembangan kepemimpinan, yaitu dalam menggerakkan semua pihak yang terlibat dan menggunakan sumberdaya yang tersedia dan dapat digunakan untuk tercapainya tujuan yang dikehendaki.
4. Sebagai dasar monitoring dan evaluasi
Perencanaan memantapkan tujuan-tujuan yang ingin dan harus dicapai, yang perkembangannya dapat diukur dan dievaluasi. Untuk mengetahui seberapa jauh tujuan telah dapat dicapai, maka diperlukan pedoman yang jelas, dapat diukur, dapat dievaluasi setiap saat, oleh siapa pun, dan sesuai patokan yang telah ditetapkan.
5. Sebagai rantai koordinasi
Perencanaan juga membantu pengembangan kepemimpinan, yaitu dalam menggerakkan semua pihak yang terlibat dan menggunakan sumber daya yang tersedia dan dapat digunakan untuk tercapainya tujuan yang dikehendaki.
6. Sebagai inventarisasi kebutuhan
Perencanaan mencegah kesalahpahaman tentang tujuan akhir, dan mengembangkan kebutuhan-kebutuhan yang dirasakan maupun yang tidak dirasakan.
7. Sebagai alat untuk mencocokan perencanaan, pelaksanaan, hasil atau perencanaan, pengembangan dan kesejahteraan
Perencanaan menghindarkan pemborosan sumberdaya (tenaga, biaya, dan waktu) dan merangsang efisiensi pada umumya. Perencanaan juga menjamin kelayakan yang dilakukan di dalam masyarakat dan yang dilaksanakan sendiri oleh masyarakat setempat.
Manfaat perencanaan juga sebagai berikut:
1. menjelaskan dan merinci tujuan yang ingin dicapai;
2. memberikan pegangan dan menetapkan kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut;
3. organisasi memperoleh standar sumber dana terbaik dan mendayagunakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi yang telah ditetapkan;
4. menjadi rujukan anggota organisasi dalam melaksanakan akan aktivitas yang konsisten prosedur dan tujuan;
5. memberikan batas wewenang dan tanggung jawab bagi seluruh pelaksana;
6. memonitor dan mengukur berbagai keberhasilan secara intensif, sehingga bisa menemukan dan memperbaiki penyimpangan secara dini;
7. memungkinkan untuk terpeliharannya persesuaian antara kegiatan internal dengan situasi eksternal;
8. menghindari pemborosan.
Dari berbagai manfaat perencanaan disimpulkan bahwa manfaat perencanaan sebagai berikut:
1. Perencanaan bermanfaat sebagai arahan kegiatan;
2. Perencanaan bermanfaat sebagai pedoman;
3. Perencanaan bermanfaat untuk meramalkan dalam pelaksanaan kegiatan;
4. Perencanaan bermanfaat untuk dapat memilih berbagai alternatif yang terbaik;
5. Perencanaan bermanfaat sebagai alat ukur/standar dalam evaluasi kinerja.
Masing manfaat dari berbagai pendekatan dan proses perencanaan program pembangunan, sebagai berikut:
1. Perencanaan teknokrat dan top down
a. Sebagai arahan kegiatan untuk struktur kerja di bawahnya;
b. Sebagai pedoman pelaksanaan program bagi pihak-pihak terkait dengan yang berkepentingan;
c. Sebagai bahan untuk melakukan pembinaan lebih lanjut;
d. Sebagai alat ukur/standar/ indikator dalam evaluasi kinerja.
2. Perencanaan bottom up
a. Sebagai alat komunikasi dua arah antara hierarki yang di bawah dan di atas;
b. Sebagai alat koordinasi dan sinergi antara hierarki yang di bawah dan di atas;
c. Sebagai hak-hak politik masyarakat hierarki bawah untuk memberikan masukan dan aspirasi dalam penyusunan perencanaan pembangunan.
3. Perencanaan partisipatif
a. Sebagai pendorong masyarakat dalam merubah kebutuhan masyarakat dari keinginan (felt need) menjadi nyata (real need), sehingga Pelaksanaan program lebih terfokus pada kebutuhan masyarakat.
b. Perencanaan dapat menjadi stimulasi terhadap masyarakat, untuk merumuskan den menyelesaikan masalahnya sendiri;
c. Program dan pelaksanaannya lebih aplikatif terhadap konteks sosial, ekonomi, dan budaya serta kearifan lokal, sehingga memenuhi kebutuhan masyarakat;
d. Menciptakan rasa memiliki dan tanggung jawab di antara semua pihak terkait dalam merencanakan dan melaksanakan program, sehingga dampaknya dan begitu pula program itu berkesinambungan;
e. Perlunya memberikan peran bagi semua orang untuk terlibat dalam proses, khususnya dalam pengambilan dan pertanggungjawaban keputusan, sehingga memberdayakan semua orang yang terlibat (terberdayakan);
f. Kegiatan-kegiatan pelaksanaan menjadi lebih obyektif dan fleksibel berdasarkan keadaan setempat;
g. Memberikan transparansi akibat terbuka lebarnya informasi dan wewenang;
h. Memberikan kesempatan masyarakat untuk menjadi mitra dalam perencanaan.
RUANG LINGKUP PERENCANAAN
Menurut UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, yang menjadi Ruang Lingkup Perencanaan pada Bab III pasal (3) ayat satu, dua dan tiga, sebagai berikut:
(1) Perencanaan Pembangunan Nasional mencakup penyelenggaraan perencanaan makro semua fungsi pemerintahan yang meliputi semua bidang kehidupan secara terpadu dalam wilayah Negara Republik Indonesia;
(2) Perencanaan Pembangunan Nasional Terdiri atas perencanaan pembangunan yang disusun secara terpadu oleh Kementerian/Lembaga perencanaan pembangunan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya;
(3) Perencanaan Pembangunan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menghasilkan rencana pembangunan jangka panjang, rencana pembangunan jangka menengah, dan rencana pembangunan jangka tahunan.
Kegiatan perencanaan memiliki ruang lingkup yang sangat luas, terkait dengan dimensi waktu, spasial, tingkatan dan teknis perencanaannya. Namun demikian ketiga dimensi tersebut saling terkait dan berinteraksi. Masing-masing dimensi sebagai berikut:
1. Perencanaan dari dimensi waktu
a. Perencanaan jangka panjang (long term planning), barjangka 10 tahun ke atas, bersifat prospektif, idealis dan belum ditampilkan sasaran-sasaran yang bersifat kuantitatif;
b. Perencanaan jangka menengah (medium term planning), berjangka 3 – 8 tahun, merupakan penjabaran dari uraian rencana jangka panjang. Sudah ditampilkan sasaran yang diproyeksikan secara kuantitatif, meski masih bersifat umum;
c. Perencanaan jangka pendek (sort term planning), berjangka 1 tahun (annual planning) atau perencanaan operasional.
2. Perencanaan dari dimensi spasial
Terkait dengan ruang dan batas wilayah yang dikenal sebagai perencanaan nasional (berskala nasional), regional (berskala daerah/wilayah), perencanaan tata ruang dan tata tanah (pemanfaatan fungsi kawasan tertentu).
3. Perencanaan dari dimensi tingkatan jenis perencanaan
a. Perencanaan makro, meliputi peningkatan pendapatan nasional, tingkat konsumsi, investasi pemerintah dan masyarakat, ekspor dan impor, pajak, perbankan, dan sebagainya;
b. Perencanaan mikro, disusun dan disesuaikan dengan kondisi daerah;
c. Perencanaan kawasan, memperhatikan keadaan lingkungan kawasan tertentu sebagai pusat kegiatan dengan keunggulan komparatif dan kompetitif.
d. Perencanaan proyek, perencanaan operasional kebijakan yang dapat menjawab siapa melakukan apa, dimana, bagaimana dan mengapa.
4. Perencanaan dimensi jenis
a. Perencanaan dari atas ke bawah (top down planning);
b. Perencanaan dari bawah ke atas (bottom up planning);
c. Perencanaan menyerong ke samping (diagonal planning), dibuat oleh pejabat bersama pejabat di bawah, di luar struktur;
d. Perencanaan mendatar (horizontal planning), perencanaan lintas sektor oleh pejabat selevel;
e. Perencanaan menggelinding (rolling planning), berkelanjutan mulai jangka pendek, menengah dan panjang;
f. Perencanaan gabungan atas bawah dan bawah atas (top down and bottom planning), untuk mengakomodasi kepentingan pusat dengan wilayah/ daerah.
Ruang lingkup perencanaan teknokrat/top down, bottom up dan partisipatif, dijelaskan sebagai berikut:
1. Perencanaan teknokrat/top down
a. Penjabaran dari tujuan negara sesuai dengan kontitusi negara, dalam bentuk visi, misi, dan program;
b. Isu-isu strategis yang multisektoral, serta potensi dan permasalahan yang dihadapi;
c. Arah kebijakan umum dan program pembangunan, dengan memperhatikan kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara menyuluruh, termasuk arah kebijakan fiskal dalam rencana kerja yang berupa kerangka regulasi dan kerangka pendanaan;
d. Agenda dan strategi pelaksanaan program;
e. Indikator pencapaian program;
f. Rencana pendanaan program.
2. Perencanaan bottom up
a. Kumpulan berbagai masukan dari rencana program/ kegiatan dari hierarki di bawah untuk hierarki atas.
b. Kumpulan ide kreatif dari hierarki di bawah yang disampaikan ke hierarki atas.
3. Perencanaan partisipatif
a. Inventarisasi masalah yang dihadapi masyarakat terkait dengan program yang akan dilaksanakan;
b. Metode dan media yang akan digunakan dalam perencanaan program;
c. Sosialisasi rencana program pada masyarakat;
d. Koordinasi dengan pihak-pihak yang terlibat;
e. Penetapan indikator dan evaluasi program.
MODEL PERENCANAAN
Perubahan paradigma sains mempengaruhi model-model perencanaan program pembangunan yang berkembang dewasa ini. Ciri utama paradigma tersebut adalah berpikir secara ilmiah dengan pendekatan sebab akibat, analogi-analogi, obyektif dan sistematis. Model berpikir dengan analisa-analisa mendalam tersebut selanjutnya disebut berpikir secara rasional, dan menjadi instrument dalam perencanaan pembangunan. Pola pendekatan model perencanaan seperti ini banyak diaplikasi pada proses perencanaan teknokrat/top down, dimana perencana berperan untuk ”melayani kelangsungan pusat kekuatan”.
Menurut Suzetta (2007), sebagai cerminan lebih lanjut dari demokratisasi dan partisipasi sebagai bagian dari good governance maka proses perencanaan program pembangunan juga melalui proses partisipatif. Pemikiran perencanaan partisipatif diawali dari kesadaran bahwa kinerja sebuah prakarsa pembangunan masyarakat sangat ditentukan oleh semua pihak yang terkait dengan prakarsa tersebut. Sejak dikenalkannya model perencanaan partisipatif istilah menjadi sangat meluas dan akhirnya dianggap sebagai idiom model ini. Berbagai model perencanaan partisipatif, maka Perencana menjadi fasilisator masyarakat, berperan untuk mempromotori partisipasi masyarakat dalam pencarian pemecahan. Yang perlu ditekankan disini adalah pendekatan ”dari bawah ke atas (bottom up) dan berusaha memberi wewenang masyarakat untuk menyelesaikan masalah mereka sendiri. Pusat beban perencana dipindahkan dari pemerintah dan penguasa kota kepada masyarakat.
Beberapa model perencanaan yang dipilah berdasarkan proses perencanaan teknokrat/top down, bottom up dan partisipatif sebagai berikut:
1. Perencanaan Teknokrat/ Top down
a. Model Perencanaan Rasional Komprehensif (Rational Comprehensive Planning)
Dasar dari model perencanaan ini adalah menekankan pada kemampuan akal pikiran dalam memecahkan problem-problem yang berkembang dan terjadi dalam masyarakat. Problema yang ada dipecahkan melalui pendekatan ilmiah dalam analisisnya sehingga permasalahan-permasalahan dapat dicarikan solusinya secara cermat serta tidak menimbulkan permasalahan baru di kemudian hari.
Kelebihan dari model ini sebagai berikut:
1) Bersifat ”keahlian” karena itu seorang perencana dituntut memahamai perencanaan baik dari sisi teknis maupun filosofi.
2) Pada umumnya perencanaan model ini dilakukan bersifat perorangan, namun tidak menutup kemungkinan bersifat kolektif atau kelompok dengan asumsi kepentingan individu menyesuaikan kepentingan kelompok.
3) Karakter dasar perencanaan bersifat komprehensif (menyeluruh), yakni mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan, sehingga semua masalah ingin coba diselesaikan.
Kekurangan model ini adalah:
1) Kurang dapat memperhitungkan sumber daya yang tersedia, karena berasumsi bahwa sumber daya dapat dicari dan diusahakan.
2) Pembuat keputusan dipegang para ahli/perencana sedangkan masyarakat hanya diberikan sedikit peran, biasanya hanya dalam bentuk publik hearing yang sifatnya serimonial. Dalam hal ini perencana menganggap paling tahu atas segala permasalahan
3) Perencanaan bersifat reduksionisme, determenistik dan obyektif sehingga bersifat sektoral.
Contoh model perencanaan rasional komprehensif adalah dalam Penyusunan Dokumen Tata Ruang Wilayah.
b. Model Perencanaan Induk (Master Planning)
Perencanaan induk (master planning) biasanya diterapkan pada perencanaan komplek bangunan atau kota baru secara fisik. Dibandingkan dengan perencanaan komprehensif yang dilakukan scara multi-disiplin, maka perencanaan induk umumnya dilakukan secara satu disiplin, misal arsitektur. Keduanya, perencanaan induk dan perencanaan komprehensif, mempunyai kesamaan dalam sifat produk akhir rencana yang jelas, rinci, end-state, tidak fleksibel—seakan masa depan sangat pasti.
c. Model Perencanaan Strategis (Strategic Planning)
Perencanaan strategis umumnya dipakai dalam organisasi yang bersifat publik. Model-model perencanaan strategis diaplikasikan di bidang usaha (bisnis) karena diperlukan untuk merencanakan perusahaan secara efektif dalam mengelola masa depan yang penuh dengan ketidakpastian (Kaufman dan Jacobs, 1996).
Kelebihan model ini adalah bersifat komprehensif karena semua aspek dikaji tetapi hanya berkaitan dengan isu strategis, hasil kajiannya bersifat menyeluruh, bukan hanya aspek fisik serta mempehitungkan sumber daya yang tersedia.
Kelemahan perencanaan strategis terletak pada keterbatasan pengetahuan sumber daya manusia organisasi yang tidak merata sehingga tidak semua memahami visi dan misi organisasi. Dalam pencermatan lingkungan internal dan eksternal organisasi harus dilakukan oleh anggota organisasi yang berpengalaman dan mengenal betul karakter organisasi, sehingga mampu mengetahi isu-isu organisasi yang strategis.
Contoh model perencanaan strategis adalah dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), serta Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra SKPD).
d. Model Perencanaan Incremental
Model perencanaan yang dilakukan didominasi oleh proses lobi-lobi politik yang sempit, tidak menggunakan pendekatan ilmiah (rasional) dalam aktifitasnya.
Kelemahan perencanaan incremental adalah asumsinya bahwa kondisi masyarakat adalah pluralis yang terdiri dari kelompok-kelompok kecil. Pengkritik paham incremental memperdebatkan bahwa masyarakat didominasi oleh kelompok-kelompok tertentu yang melakukan kompetisi tidak adil dan tidak demokratis. Dalam hal ini nantinya kelompok masyarakat pemenang saja yang terwakili dalam perencanaan.
Contoh dari perencanaan model inceremental adalah dalam penentuan plafon belanja kota/daerah dengan mengestimasi bahwa kenaikan anggaran belanja berkisar 10 persen pada tahun perhitungan, hal ini mendasarkan pada realisasi anggaran pada tahun sebelumnya dengan menyesuaikan besarnya inflasi dan jumlah penduduk.
2. Perencanaan Bottom up
Model musyawarah, mulai dari MUSRENBANGDES (Musyawarah Rencana Pembangunan Desa), MUSRENBANGCAM (Musyawarah Rencana Pembangunan Kecamatan), MUSRENBANGKAB (Musyawarah Rencana Pembangunan Kabupaten).
3. Perencanaan Partisipatif
a. Metode Participatory Rural Appraisal (PRA)
Teknik untuk menyusun dan mengembangkan program yang operasional dalam pembangunan desa. Metode ini ditempuh dengan memobilisasi sumberdaya manusia, alam setempat, lembaga lokal guna mempercepat peningkatan produktivitas, menstabilkan dan meningkatkan pendapatan masyarakat, serta mampu pula melesetarikan sumber daya setempat
Metode ini menekankan adanya peran serta aktif dari masyarakat dalam merencanakan pembangunan (penyelesaian masalah) mulai dari pengenalan wilayah, pengidentifikasian masalah sampai penentuan skala prioritas.
Teknik PRA antara lain: (1) Secondary Data Review (SDR)- Tinjau Data Sekuder; (2) Direct Observation-Observasi Langsung; (3) Semi-Structured Interviewing (SSI)-Wawancara Semi Tersruktur; (4) Focus Group Discussion (FGD)-Diskusi Kelompok Terfokus; (5) Preference Ranking and Scoring; (6) Direct Matrix Ranking; (7) Peringkat Kesejahteraan; (8) Pemetaan Sosial; (9) Transek (Penelusuran); (10) Kalender Musim; (11) Alur Sejarah; (12) Analisa Mata Pencaharian; (13) Diagram Venn; (14) Kecenderungan dan Perubahan.
b. Metode Rapid Rural Appraisal (RRA)
Pengumpulan informasi dari pihak luar (outsider), kemudian data dibawa pergi, dianalisa dan peneliti tersebut membuat perencanaan tanpa menyertakan masyarakat. RRA lebih bersifat “penggalian informasi”, sedangkan PRA dilaksanakan bersama-sama masyarakat, mulai dari pengumpulan informasi, analisa, sampai perencanaan program.
c. Metode Kaji-Tindak Partisipatif
Esensinya menunjuk pada metodologi Participatory Learning and Action atau belajar dari bertindak secara partisipatif; belajar dan bertindak bersama, aksi refleksi partisipatif. Penggunaan istilah PLA dimaksudkan untuk menekankan pengertian partisipatif pada proses belajar bersama masyarakat untuk pengembangan. Kajian partisipatif menjadi dasar bagi tindakan partisipatif. Jika dari suatu tindakan terkaji masih ditemui hambatan dan masalah, maka kajian partisipatif diulang kembali untuk menemukan jalan keluar, demikian seterusnya.
TAHAPAN PERENCANAAN
Sebagaimana diketahui bahwa perencanaan adalah berorientasi kepada masa depan. Perencanaan program (pembangunan) yang dilakukan tak ada lain adalah untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan secara efektif, efisien dan berkelanjutan. Tujuan-tujuan tersebut dapat dicapai dengan melakukan tiga tahap proses, yaitu: 1) perumusan dan penentuan tujuan, 2). Pengujian atau analisis opsi-opsi atau pilihan-pilihan yang tersedia serta 3). Pemilihan rangkaian, tindakan atau kegiatan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan dan disepakati bersama. Dengan demikain diketahui bahwa perencanaan tidak bersifat statis melainkan dinamis kerena dilakukan melalui suatu rangkaian proses (siklus) yang berjalan terus menerus.
Menurut Mardikanto (2010) tahapan perencanaaan program/kegiatan pemberdayaan masyarakat, sebagai berikut:
a. Pengumpulan data keadaan
Pengumpulan data keadaan merupakan kegiatan pengumpulan data-data dasar yang diperlukan untuk menentukan masalah, tujuan, dan cara mencapai tujuan atau kegiatan yang akan direncanakan.
b. Analisis data keadaan
Kegiatan penilaian keadaan, yang mencakup:
- Analisis tentang deskripsi data keadaan;
- Penilaian atas keadaan sumberdaya, teknologi, dan peraturan yang ada;
- Pengelompokan data ke dalam: data aktual dan data potensial; keadaan yang ingin dicapai dan yang sudah digunakan; serta peraturan-peraturan yang sudah berlaku dan yang dapat diberlakukan.
c. Identifikasi masalah
Merupakan upaya untuk merumuskan hal-hal yang tidak dikehendaki atau faktor-faktor yang menyebabkan tidak tercapainya tujuan yang dikehendaki.
d. Pemilihan masalah yang akan dipecahkan
Pada umumnya dapat dibedakan masalah-masalah umum dan masalah khusus.
e. Perumusan tujuan-tujuan
Dalam perumusan tujuan seperti ini, perlu diperhatikan agar penerima manfaat yang hendak dicapai haruslah “realistis”, baik ditinjau dari kemampuan sumberdaya (biaya, jumlah, dan kualitas tenaga) maupun dapat memecahkan semua permasalahan sampai tuntas, tetapi dapat dirumuskan secara bertahap dengan target-target realistis.
f. Perumusan alternatif pemecahan masalah
Setiap masalah, pada hakekatnya dapat dipecahkan melalui beberapa alternatif yang dapat dilakukan, yang masing-masing menuntut kondisi yang berbeda-beda, baik yang menyangkut besarnya dana, jumlah dan kualitas tenaga yang dipersiapkan, peraturan-peraturan yang harus diadakan, serta batas waktu yang diperlukan.
g. Perumusan cara mencapai tujuan
Dirumuskan dalam bentuk rencana kegiatan.
h. Pengesahan program
Program disahkan bukan hanya oleh penentu kebijakan pembangunan tetapi juga dari tokoh-tokoh masyarakat penerima manfaat, agar dalam pelaksanaannya benar-benar mampu memecahkan masalah yang dihadapi, mencapai tujuan yang diinginkan, memenuhi kebutuhan yang dirasakan, serta memperoleh dukungan dan partisipasi masyarakat penerima manfaat.
i. Rencana Evaluasi
Untuk mengetahui seberapa jauh kegiatan yang dilaksanakan telah mencapai tujuan yang diinginkan, adanya evaluasi dari setiap kegiatan mutlak harus dilakukan.
j. Rekonsiderasi
Merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mempertimbangkan kembali perencanaan program yang ada baik, baik yang dilakukan sebelum pelaksanaan maupun selama proses pelaksanaan kegiatan.
Masing tahapan perencanaan untuk masing-masing proses/pendekatan sebagai berikut:
1. Perencanaan teknokratik/top down
Tahapan tiap model perencanaan teknokratik/top down, sebagai berikut:
Perencanaan komprehensif Perencanaan induk Perencanaan strategis
1. Pengumpulan dan pengolahan data 1. Problem seeking 1. Perumusan visi dan misi
2. Analisis 2. Programming 2. Pengkajian lingkungan eksternal
3. Perumusan tujuan dan sasaran perencanaan 3. Designing 3. Pengkajian lingkungan internal
4. Pengembangan alternatif perencanaan 4. Perumusan isu-isu strategis
5. Evaluasi dan seleksi alternatif rencana 5. Penyusunan strategi pengembangan (yang dapat ditambah dengan tujuan dan sasaran)
6. Penyusunan dokumen rencana. 6. penyusunan rencana-rencana kerja (aksi/tindakan)
7. Monitoring dan Evaluasi Tindakan/Kegiatan
2. Perencanaan bottom up
Mulai dari MUSRENBANGDES (Musyawarah Rencana Pembangunan Desa), MUSRENBANGCAM (Musyawarah Rencana Pembangunan Kecamatan), MUSRENBANGKAB (Musyawarah Rencana Pembangunan Kabupaten).
3. Perencanaan Partisipatif
Tahap perencanaan partisipatif yang lain sebagai berikut
a. Pembukaan Komunikasi Masyarakat
Tujuannya untuk:
1) Menumbuhkan dan memupuk modal sosial
2) Mengubah suatu keadaan atau perilaku, motivasi dan komitmen melalui suatu proses pengembangan pemahaman secara partisipatif;
3) Menciptakan suasana yang berprinsip dari, oleh dan untuk kita;
Norma pembukaan komunikasi:
1) Mengajak, mendorong bukan menginstruksikan;
2) Meminta pendapat, mengusulkan bukan memutuskan;
3) Menganalisis sesuatu secara partisipatif bukan memberikan penilaian;
4) Memberikan kesempatan, memotivasi bukan melaksanakan sendiri.
b. Penumbuhan kerjasama;
c. Analisis Kebutuhan Masyarakat;
d. Pengembangan partisipasi, dengan parameter partisipasi: siapa yang memunculkan ide dan gagasan?; siapa yang mengambil keputusan?; siapa yang menyusun rencana aksi?; siapa yang melaksanakan, mengorganisasikan dan mengkoordinir kegiatan?; siapa yang menilai, mengevaluasi dan mengendalikan?.
e. Pengembangan masyarakat, dengan tahap
1) Sosialisasi (formal maupun informal)
2) Komunikasi pemahaman program
3) Perencanaan bersama (penentuan tujuan dan indikator, penentuan pihak yang berpartisipasi, penentuan sistem aplikasi dan koordinasi, penentuan sistem pengendalian)
4) Pelaksanaan program bersama (pelaksanaan secara partisipatif. monitoring secara partisipatif, sistem kerja efektif dan terbuka/transparan)
5) Evaluasi bersama (pemahaman bersama kepada indikator dan pemahaman bersama pada kondisi program saat itu)
f. Simulasi Dinamika Kelompok
Media membangun keakraban, keterbukaan, pembangkit motivasi, penguat kebersamaan.
Menurut Friedmann, perencanaan akan berhadapan dengan problem mendasar yakni bagaimana teknis pengetahuan perencanaan yang efektif dalam menginformasikan aksi-aksi publik. Atas dasar tersebut maka perencanaan didefinisikan sebagai komponen yang menghubungkan antara pengetahuan dengan aksi/tindakan dalam wilayah publik. Pada prinsipnya. Friedmann menyatakan perencanaan harus bertujuan untuk kepentingan masyarakat banyak.
Perencanaan juga merupakan pekerjaan yang menyangkut wilayah publik maka komitmen seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) yang terlibat sangat dibutuhkan sehingga hasil perencanaan dapat dibuktikan dan dirasakan manfaatnya Beberapa manfaat perencanaan dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Sebagai informasi keputusan yang tepat untuk dilakukan
Perencanaan memberikan acuan dalam mempertimbangkan secara seksama tentang apa yang harus dilakukan dan bagaimana cara melaksanakannya. Di dalam kenyataan, terdapat banyak alternatif mengenai apa yang dapat dilakukan dan bagaimana cara melaksanakannya. Oleh sebab itu, dengan adanya acuan yang sudah “terpilih” akan memudahkan semua pihak untuk mengambil keputusan yang sebaik-baiknya.
2. Sebagai panduan kegiatan dan monitoring
Tersedianya acuan tertulis yang dapat digunakan untuk pelaksanaan program. Dengan adanya acuan tertulis, diharapkan dapat mencegah terjadinya salah pengertian (dibanding dengan pernyataan tertulis) dan dapat dikaji ulang (dievaluasi) setiap saat, sejak sebelum, selama, dan sesudah program dilaksanakan.
Sebagai pedoman pengambilan keputusan terhadap usul/saran penyempurnaan yang “baru”. Sepanjang perjalanan pelaksanaan program seringkali muncul sesuatu yang mendorong perlunya revisi penyempurnaan perencanaan program. Karena itu, dengan adanya pernyataan tertulis, dapat dikaji seberapa jauh usulan revisi tersebut dapat diterima/ditolak agar tujuan yang diinginkan tetap dapat tercapai, baik dalam arti jumlah, mutu dan waktu yang telah ditetapkan.
3. Sebagai rantai koordinasi
Perencanaan mencegah kesalahpahaman tentang tujuan akhir dan mengembangkan kebutuhan-kebutuhan yang dirasakan maupun yang tidak dirasakan. Perencanaan membantu pengembangan kepemimpinan, yaitu dalam menggerakkan semua pihak yang terlibat dan menggunakan sumberdaya yang tersedia dan dapat digunakan untuk tercapainya tujuan yang dikehendaki.
4. Sebagai dasar monitoring dan evaluasi
Perencanaan memantapkan tujuan-tujuan yang ingin dan harus dicapai, yang perkembangannya dapat diukur dan dievaluasi. Untuk mengetahui seberapa jauh tujuan telah dapat dicapai, maka diperlukan pedoman yang jelas, dapat diukur, dapat dievaluasi setiap saat, oleh siapa pun, dan sesuai patokan yang telah ditetapkan.
5. Sebagai rantai koordinasi
Perencanaan juga membantu pengembangan kepemimpinan, yaitu dalam menggerakkan semua pihak yang terlibat dan menggunakan sumber daya yang tersedia dan dapat digunakan untuk tercapainya tujuan yang dikehendaki.
6. Sebagai inventarisasi kebutuhan
Perencanaan mencegah kesalahpahaman tentang tujuan akhir, dan mengembangkan kebutuhan-kebutuhan yang dirasakan maupun yang tidak dirasakan.
7. Sebagai alat untuk mencocokan perencanaan, pelaksanaan, hasil atau perencanaan, pengembangan dan kesejahteraan
Perencanaan menghindarkan pemborosan sumberdaya (tenaga, biaya, dan waktu) dan merangsang efisiensi pada umumya. Perencanaan juga menjamin kelayakan yang dilakukan di dalam masyarakat dan yang dilaksanakan sendiri oleh masyarakat setempat.
Manfaat perencanaan juga sebagai berikut:
1. menjelaskan dan merinci tujuan yang ingin dicapai;
2. memberikan pegangan dan menetapkan kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut;
3. organisasi memperoleh standar sumber dana terbaik dan mendayagunakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi yang telah ditetapkan;
4. menjadi rujukan anggota organisasi dalam melaksanakan akan aktivitas yang konsisten prosedur dan tujuan;
5. memberikan batas wewenang dan tanggung jawab bagi seluruh pelaksana;
6. memonitor dan mengukur berbagai keberhasilan secara intensif, sehingga bisa menemukan dan memperbaiki penyimpangan secara dini;
7. memungkinkan untuk terpeliharannya persesuaian antara kegiatan internal dengan situasi eksternal;
8. menghindari pemborosan.
Dari berbagai manfaat perencanaan disimpulkan bahwa manfaat perencanaan sebagai berikut:
1. Perencanaan bermanfaat sebagai arahan kegiatan;
2. Perencanaan bermanfaat sebagai pedoman;
3. Perencanaan bermanfaat untuk meramalkan dalam pelaksanaan kegiatan;
4. Perencanaan bermanfaat untuk dapat memilih berbagai alternatif yang terbaik;
5. Perencanaan bermanfaat sebagai alat ukur/standar dalam evaluasi kinerja.
Masing manfaat dari berbagai pendekatan dan proses perencanaan program pembangunan, sebagai berikut:
1. Perencanaan teknokrat dan top down
a. Sebagai arahan kegiatan untuk struktur kerja di bawahnya;
b. Sebagai pedoman pelaksanaan program bagi pihak-pihak terkait dengan yang berkepentingan;
c. Sebagai bahan untuk melakukan pembinaan lebih lanjut;
d. Sebagai alat ukur/standar/ indikator dalam evaluasi kinerja.
2. Perencanaan bottom up
a. Sebagai alat komunikasi dua arah antara hierarki yang di bawah dan di atas;
b. Sebagai alat koordinasi dan sinergi antara hierarki yang di bawah dan di atas;
c. Sebagai hak-hak politik masyarakat hierarki bawah untuk memberikan masukan dan aspirasi dalam penyusunan perencanaan pembangunan.
3. Perencanaan partisipatif
a. Sebagai pendorong masyarakat dalam merubah kebutuhan masyarakat dari keinginan (felt need) menjadi nyata (real need), sehingga Pelaksanaan program lebih terfokus pada kebutuhan masyarakat.
b. Perencanaan dapat menjadi stimulasi terhadap masyarakat, untuk merumuskan den menyelesaikan masalahnya sendiri;
c. Program dan pelaksanaannya lebih aplikatif terhadap konteks sosial, ekonomi, dan budaya serta kearifan lokal, sehingga memenuhi kebutuhan masyarakat;
d. Menciptakan rasa memiliki dan tanggung jawab di antara semua pihak terkait dalam merencanakan dan melaksanakan program, sehingga dampaknya dan begitu pula program itu berkesinambungan;
e. Perlunya memberikan peran bagi semua orang untuk terlibat dalam proses, khususnya dalam pengambilan dan pertanggungjawaban keputusan, sehingga memberdayakan semua orang yang terlibat (terberdayakan);
f. Kegiatan-kegiatan pelaksanaan menjadi lebih obyektif dan fleksibel berdasarkan keadaan setempat;
g. Memberikan transparansi akibat terbuka lebarnya informasi dan wewenang;
h. Memberikan kesempatan masyarakat untuk menjadi mitra dalam perencanaan.
RUANG LINGKUP PERENCANAAN
Menurut UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, yang menjadi Ruang Lingkup Perencanaan pada Bab III pasal (3) ayat satu, dua dan tiga, sebagai berikut:
(1) Perencanaan Pembangunan Nasional mencakup penyelenggaraan perencanaan makro semua fungsi pemerintahan yang meliputi semua bidang kehidupan secara terpadu dalam wilayah Negara Republik Indonesia;
(2) Perencanaan Pembangunan Nasional Terdiri atas perencanaan pembangunan yang disusun secara terpadu oleh Kementerian/Lembaga perencanaan pembangunan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya;
(3) Perencanaan Pembangunan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menghasilkan rencana pembangunan jangka panjang, rencana pembangunan jangka menengah, dan rencana pembangunan jangka tahunan.
Kegiatan perencanaan memiliki ruang lingkup yang sangat luas, terkait dengan dimensi waktu, spasial, tingkatan dan teknis perencanaannya. Namun demikian ketiga dimensi tersebut saling terkait dan berinteraksi. Masing-masing dimensi sebagai berikut:
1. Perencanaan dari dimensi waktu
a. Perencanaan jangka panjang (long term planning), barjangka 10 tahun ke atas, bersifat prospektif, idealis dan belum ditampilkan sasaran-sasaran yang bersifat kuantitatif;
b. Perencanaan jangka menengah (medium term planning), berjangka 3 – 8 tahun, merupakan penjabaran dari uraian rencana jangka panjang. Sudah ditampilkan sasaran yang diproyeksikan secara kuantitatif, meski masih bersifat umum;
c. Perencanaan jangka pendek (sort term planning), berjangka 1 tahun (annual planning) atau perencanaan operasional.
2. Perencanaan dari dimensi spasial
Terkait dengan ruang dan batas wilayah yang dikenal sebagai perencanaan nasional (berskala nasional), regional (berskala daerah/wilayah), perencanaan tata ruang dan tata tanah (pemanfaatan fungsi kawasan tertentu).
3. Perencanaan dari dimensi tingkatan jenis perencanaan
a. Perencanaan makro, meliputi peningkatan pendapatan nasional, tingkat konsumsi, investasi pemerintah dan masyarakat, ekspor dan impor, pajak, perbankan, dan sebagainya;
b. Perencanaan mikro, disusun dan disesuaikan dengan kondisi daerah;
c. Perencanaan kawasan, memperhatikan keadaan lingkungan kawasan tertentu sebagai pusat kegiatan dengan keunggulan komparatif dan kompetitif.
d. Perencanaan proyek, perencanaan operasional kebijakan yang dapat menjawab siapa melakukan apa, dimana, bagaimana dan mengapa.
4. Perencanaan dimensi jenis
a. Perencanaan dari atas ke bawah (top down planning);
b. Perencanaan dari bawah ke atas (bottom up planning);
c. Perencanaan menyerong ke samping (diagonal planning), dibuat oleh pejabat bersama pejabat di bawah, di luar struktur;
d. Perencanaan mendatar (horizontal planning), perencanaan lintas sektor oleh pejabat selevel;
e. Perencanaan menggelinding (rolling planning), berkelanjutan mulai jangka pendek, menengah dan panjang;
f. Perencanaan gabungan atas bawah dan bawah atas (top down and bottom planning), untuk mengakomodasi kepentingan pusat dengan wilayah/ daerah.
Ruang lingkup perencanaan teknokrat/top down, bottom up dan partisipatif, dijelaskan sebagai berikut:
1. Perencanaan teknokrat/top down
a. Penjabaran dari tujuan negara sesuai dengan kontitusi negara, dalam bentuk visi, misi, dan program;
b. Isu-isu strategis yang multisektoral, serta potensi dan permasalahan yang dihadapi;
c. Arah kebijakan umum dan program pembangunan, dengan memperhatikan kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara menyuluruh, termasuk arah kebijakan fiskal dalam rencana kerja yang berupa kerangka regulasi dan kerangka pendanaan;
d. Agenda dan strategi pelaksanaan program;
e. Indikator pencapaian program;
f. Rencana pendanaan program.
2. Perencanaan bottom up
a. Kumpulan berbagai masukan dari rencana program/ kegiatan dari hierarki di bawah untuk hierarki atas.
b. Kumpulan ide kreatif dari hierarki di bawah yang disampaikan ke hierarki atas.
3. Perencanaan partisipatif
a. Inventarisasi masalah yang dihadapi masyarakat terkait dengan program yang akan dilaksanakan;
b. Metode dan media yang akan digunakan dalam perencanaan program;
c. Sosialisasi rencana program pada masyarakat;
d. Koordinasi dengan pihak-pihak yang terlibat;
e. Penetapan indikator dan evaluasi program.
MODEL PERENCANAAN
Perubahan paradigma sains mempengaruhi model-model perencanaan program pembangunan yang berkembang dewasa ini. Ciri utama paradigma tersebut adalah berpikir secara ilmiah dengan pendekatan sebab akibat, analogi-analogi, obyektif dan sistematis. Model berpikir dengan analisa-analisa mendalam tersebut selanjutnya disebut berpikir secara rasional, dan menjadi instrument dalam perencanaan pembangunan. Pola pendekatan model perencanaan seperti ini banyak diaplikasi pada proses perencanaan teknokrat/top down, dimana perencana berperan untuk ”melayani kelangsungan pusat kekuatan”.
Menurut Suzetta (2007), sebagai cerminan lebih lanjut dari demokratisasi dan partisipasi sebagai bagian dari good governance maka proses perencanaan program pembangunan juga melalui proses partisipatif. Pemikiran perencanaan partisipatif diawali dari kesadaran bahwa kinerja sebuah prakarsa pembangunan masyarakat sangat ditentukan oleh semua pihak yang terkait dengan prakarsa tersebut. Sejak dikenalkannya model perencanaan partisipatif istilah menjadi sangat meluas dan akhirnya dianggap sebagai idiom model ini. Berbagai model perencanaan partisipatif, maka Perencana menjadi fasilisator masyarakat, berperan untuk mempromotori partisipasi masyarakat dalam pencarian pemecahan. Yang perlu ditekankan disini adalah pendekatan ”dari bawah ke atas (bottom up) dan berusaha memberi wewenang masyarakat untuk menyelesaikan masalah mereka sendiri. Pusat beban perencana dipindahkan dari pemerintah dan penguasa kota kepada masyarakat.
Beberapa model perencanaan yang dipilah berdasarkan proses perencanaan teknokrat/top down, bottom up dan partisipatif sebagai berikut:
1. Perencanaan Teknokrat/ Top down
a. Model Perencanaan Rasional Komprehensif (Rational Comprehensive Planning)
Dasar dari model perencanaan ini adalah menekankan pada kemampuan akal pikiran dalam memecahkan problem-problem yang berkembang dan terjadi dalam masyarakat. Problema yang ada dipecahkan melalui pendekatan ilmiah dalam analisisnya sehingga permasalahan-permasalahan dapat dicarikan solusinya secara cermat serta tidak menimbulkan permasalahan baru di kemudian hari.
Kelebihan dari model ini sebagai berikut:
1) Bersifat ”keahlian” karena itu seorang perencana dituntut memahamai perencanaan baik dari sisi teknis maupun filosofi.
2) Pada umumnya perencanaan model ini dilakukan bersifat perorangan, namun tidak menutup kemungkinan bersifat kolektif atau kelompok dengan asumsi kepentingan individu menyesuaikan kepentingan kelompok.
3) Karakter dasar perencanaan bersifat komprehensif (menyeluruh), yakni mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan, sehingga semua masalah ingin coba diselesaikan.
Kekurangan model ini adalah:
1) Kurang dapat memperhitungkan sumber daya yang tersedia, karena berasumsi bahwa sumber daya dapat dicari dan diusahakan.
2) Pembuat keputusan dipegang para ahli/perencana sedangkan masyarakat hanya diberikan sedikit peran, biasanya hanya dalam bentuk publik hearing yang sifatnya serimonial. Dalam hal ini perencana menganggap paling tahu atas segala permasalahan
3) Perencanaan bersifat reduksionisme, determenistik dan obyektif sehingga bersifat sektoral.
Contoh model perencanaan rasional komprehensif adalah dalam Penyusunan Dokumen Tata Ruang Wilayah.
b. Model Perencanaan Induk (Master Planning)
Perencanaan induk (master planning) biasanya diterapkan pada perencanaan komplek bangunan atau kota baru secara fisik. Dibandingkan dengan perencanaan komprehensif yang dilakukan scara multi-disiplin, maka perencanaan induk umumnya dilakukan secara satu disiplin, misal arsitektur. Keduanya, perencanaan induk dan perencanaan komprehensif, mempunyai kesamaan dalam sifat produk akhir rencana yang jelas, rinci, end-state, tidak fleksibel—seakan masa depan sangat pasti.
c. Model Perencanaan Strategis (Strategic Planning)
Perencanaan strategis umumnya dipakai dalam organisasi yang bersifat publik. Model-model perencanaan strategis diaplikasikan di bidang usaha (bisnis) karena diperlukan untuk merencanakan perusahaan secara efektif dalam mengelola masa depan yang penuh dengan ketidakpastian (Kaufman dan Jacobs, 1996).
Kelebihan model ini adalah bersifat komprehensif karena semua aspek dikaji tetapi hanya berkaitan dengan isu strategis, hasil kajiannya bersifat menyeluruh, bukan hanya aspek fisik serta mempehitungkan sumber daya yang tersedia.
Kelemahan perencanaan strategis terletak pada keterbatasan pengetahuan sumber daya manusia organisasi yang tidak merata sehingga tidak semua memahami visi dan misi organisasi. Dalam pencermatan lingkungan internal dan eksternal organisasi harus dilakukan oleh anggota organisasi yang berpengalaman dan mengenal betul karakter organisasi, sehingga mampu mengetahi isu-isu organisasi yang strategis.
Contoh model perencanaan strategis adalah dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), serta Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra SKPD).
d. Model Perencanaan Incremental
Model perencanaan yang dilakukan didominasi oleh proses lobi-lobi politik yang sempit, tidak menggunakan pendekatan ilmiah (rasional) dalam aktifitasnya.
Kelemahan perencanaan incremental adalah asumsinya bahwa kondisi masyarakat adalah pluralis yang terdiri dari kelompok-kelompok kecil. Pengkritik paham incremental memperdebatkan bahwa masyarakat didominasi oleh kelompok-kelompok tertentu yang melakukan kompetisi tidak adil dan tidak demokratis. Dalam hal ini nantinya kelompok masyarakat pemenang saja yang terwakili dalam perencanaan.
Contoh dari perencanaan model inceremental adalah dalam penentuan plafon belanja kota/daerah dengan mengestimasi bahwa kenaikan anggaran belanja berkisar 10 persen pada tahun perhitungan, hal ini mendasarkan pada realisasi anggaran pada tahun sebelumnya dengan menyesuaikan besarnya inflasi dan jumlah penduduk.
2. Perencanaan Bottom up
Model musyawarah, mulai dari MUSRENBANGDES (Musyawarah Rencana Pembangunan Desa), MUSRENBANGCAM (Musyawarah Rencana Pembangunan Kecamatan), MUSRENBANGKAB (Musyawarah Rencana Pembangunan Kabupaten).
3. Perencanaan Partisipatif
a. Metode Participatory Rural Appraisal (PRA)
Teknik untuk menyusun dan mengembangkan program yang operasional dalam pembangunan desa. Metode ini ditempuh dengan memobilisasi sumberdaya manusia, alam setempat, lembaga lokal guna mempercepat peningkatan produktivitas, menstabilkan dan meningkatkan pendapatan masyarakat, serta mampu pula melesetarikan sumber daya setempat
Metode ini menekankan adanya peran serta aktif dari masyarakat dalam merencanakan pembangunan (penyelesaian masalah) mulai dari pengenalan wilayah, pengidentifikasian masalah sampai penentuan skala prioritas.
Teknik PRA antara lain: (1) Secondary Data Review (SDR)- Tinjau Data Sekuder; (2) Direct Observation-Observasi Langsung; (3) Semi-Structured Interviewing (SSI)-Wawancara Semi Tersruktur; (4) Focus Group Discussion (FGD)-Diskusi Kelompok Terfokus; (5) Preference Ranking and Scoring; (6) Direct Matrix Ranking; (7) Peringkat Kesejahteraan; (8) Pemetaan Sosial; (9) Transek (Penelusuran); (10) Kalender Musim; (11) Alur Sejarah; (12) Analisa Mata Pencaharian; (13) Diagram Venn; (14) Kecenderungan dan Perubahan.
b. Metode Rapid Rural Appraisal (RRA)
Pengumpulan informasi dari pihak luar (outsider), kemudian data dibawa pergi, dianalisa dan peneliti tersebut membuat perencanaan tanpa menyertakan masyarakat. RRA lebih bersifat “penggalian informasi”, sedangkan PRA dilaksanakan bersama-sama masyarakat, mulai dari pengumpulan informasi, analisa, sampai perencanaan program.
c. Metode Kaji-Tindak Partisipatif
Esensinya menunjuk pada metodologi Participatory Learning and Action atau belajar dari bertindak secara partisipatif; belajar dan bertindak bersama, aksi refleksi partisipatif. Penggunaan istilah PLA dimaksudkan untuk menekankan pengertian partisipatif pada proses belajar bersama masyarakat untuk pengembangan. Kajian partisipatif menjadi dasar bagi tindakan partisipatif. Jika dari suatu tindakan terkaji masih ditemui hambatan dan masalah, maka kajian partisipatif diulang kembali untuk menemukan jalan keluar, demikian seterusnya.
TAHAPAN PERENCANAAN
Sebagaimana diketahui bahwa perencanaan adalah berorientasi kepada masa depan. Perencanaan program (pembangunan) yang dilakukan tak ada lain adalah untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan secara efektif, efisien dan berkelanjutan. Tujuan-tujuan tersebut dapat dicapai dengan melakukan tiga tahap proses, yaitu: 1) perumusan dan penentuan tujuan, 2). Pengujian atau analisis opsi-opsi atau pilihan-pilihan yang tersedia serta 3). Pemilihan rangkaian, tindakan atau kegiatan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan dan disepakati bersama. Dengan demikain diketahui bahwa perencanaan tidak bersifat statis melainkan dinamis kerena dilakukan melalui suatu rangkaian proses (siklus) yang berjalan terus menerus.
Menurut Mardikanto (2010) tahapan perencanaaan program/kegiatan pemberdayaan masyarakat, sebagai berikut:
a. Pengumpulan data keadaan
Pengumpulan data keadaan merupakan kegiatan pengumpulan data-data dasar yang diperlukan untuk menentukan masalah, tujuan, dan cara mencapai tujuan atau kegiatan yang akan direncanakan.
b. Analisis data keadaan
Kegiatan penilaian keadaan, yang mencakup:
- Analisis tentang deskripsi data keadaan;
- Penilaian atas keadaan sumberdaya, teknologi, dan peraturan yang ada;
- Pengelompokan data ke dalam: data aktual dan data potensial; keadaan yang ingin dicapai dan yang sudah digunakan; serta peraturan-peraturan yang sudah berlaku dan yang dapat diberlakukan.
c. Identifikasi masalah
Merupakan upaya untuk merumuskan hal-hal yang tidak dikehendaki atau faktor-faktor yang menyebabkan tidak tercapainya tujuan yang dikehendaki.
d. Pemilihan masalah yang akan dipecahkan
Pada umumnya dapat dibedakan masalah-masalah umum dan masalah khusus.
e. Perumusan tujuan-tujuan
Dalam perumusan tujuan seperti ini, perlu diperhatikan agar penerima manfaat yang hendak dicapai haruslah “realistis”, baik ditinjau dari kemampuan sumberdaya (biaya, jumlah, dan kualitas tenaga) maupun dapat memecahkan semua permasalahan sampai tuntas, tetapi dapat dirumuskan secara bertahap dengan target-target realistis.
f. Perumusan alternatif pemecahan masalah
Setiap masalah, pada hakekatnya dapat dipecahkan melalui beberapa alternatif yang dapat dilakukan, yang masing-masing menuntut kondisi yang berbeda-beda, baik yang menyangkut besarnya dana, jumlah dan kualitas tenaga yang dipersiapkan, peraturan-peraturan yang harus diadakan, serta batas waktu yang diperlukan.
g. Perumusan cara mencapai tujuan
Dirumuskan dalam bentuk rencana kegiatan.
h. Pengesahan program
Program disahkan bukan hanya oleh penentu kebijakan pembangunan tetapi juga dari tokoh-tokoh masyarakat penerima manfaat, agar dalam pelaksanaannya benar-benar mampu memecahkan masalah yang dihadapi, mencapai tujuan yang diinginkan, memenuhi kebutuhan yang dirasakan, serta memperoleh dukungan dan partisipasi masyarakat penerima manfaat.
i. Rencana Evaluasi
Untuk mengetahui seberapa jauh kegiatan yang dilaksanakan telah mencapai tujuan yang diinginkan, adanya evaluasi dari setiap kegiatan mutlak harus dilakukan.
j. Rekonsiderasi
Merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mempertimbangkan kembali perencanaan program yang ada baik, baik yang dilakukan sebelum pelaksanaan maupun selama proses pelaksanaan kegiatan.
Masing tahapan perencanaan untuk masing-masing proses/pendekatan sebagai berikut:
1. Perencanaan teknokratik/top down
Tahapan tiap model perencanaan teknokratik/top down, sebagai berikut:
Perencanaan komprehensif Perencanaan induk Perencanaan strategis
1. Pengumpulan dan pengolahan data 1. Problem seeking 1. Perumusan visi dan misi
2. Analisis 2. Programming 2. Pengkajian lingkungan eksternal
3. Perumusan tujuan dan sasaran perencanaan 3. Designing 3. Pengkajian lingkungan internal
4. Pengembangan alternatif perencanaan 4. Perumusan isu-isu strategis
5. Evaluasi dan seleksi alternatif rencana 5. Penyusunan strategi pengembangan (yang dapat ditambah dengan tujuan dan sasaran)
6. Penyusunan dokumen rencana. 6. penyusunan rencana-rencana kerja (aksi/tindakan)
7. Monitoring dan Evaluasi Tindakan/Kegiatan
2. Perencanaan bottom up
Mulai dari MUSRENBANGDES (Musyawarah Rencana Pembangunan Desa), MUSRENBANGCAM (Musyawarah Rencana Pembangunan Kecamatan), MUSRENBANGKAB (Musyawarah Rencana Pembangunan Kabupaten).
3. Perencanaan Partisipatif
Tahap perencanaan partisipatif yang lain sebagai berikut
a. Pembukaan Komunikasi Masyarakat
Tujuannya untuk:
1) Menumbuhkan dan memupuk modal sosial
2) Mengubah suatu keadaan atau perilaku, motivasi dan komitmen melalui suatu proses pengembangan pemahaman secara partisipatif;
3) Menciptakan suasana yang berprinsip dari, oleh dan untuk kita;
Norma pembukaan komunikasi:
1) Mengajak, mendorong bukan menginstruksikan;
2) Meminta pendapat, mengusulkan bukan memutuskan;
3) Menganalisis sesuatu secara partisipatif bukan memberikan penilaian;
4) Memberikan kesempatan, memotivasi bukan melaksanakan sendiri.
b. Penumbuhan kerjasama;
c. Analisis Kebutuhan Masyarakat;
d. Pengembangan partisipasi, dengan parameter partisipasi: siapa yang memunculkan ide dan gagasan?; siapa yang mengambil keputusan?; siapa yang menyusun rencana aksi?; siapa yang melaksanakan, mengorganisasikan dan mengkoordinir kegiatan?; siapa yang menilai, mengevaluasi dan mengendalikan?.
e. Pengembangan masyarakat, dengan tahap
1) Sosialisasi (formal maupun informal)
2) Komunikasi pemahaman program
3) Perencanaan bersama (penentuan tujuan dan indikator, penentuan pihak yang berpartisipasi, penentuan sistem aplikasi dan koordinasi, penentuan sistem pengendalian)
4) Pelaksanaan program bersama (pelaksanaan secara partisipatif. monitoring secara partisipatif, sistem kerja efektif dan terbuka/transparan)
5) Evaluasi bersama (pemahaman bersama kepada indikator dan pemahaman bersama pada kondisi program saat itu)
f. Simulasi Dinamika Kelompok
Media membangun keakraban, keterbukaan, pembangkit motivasi, penguat kebersamaan.
PENGERTIAN PERENCANAAN, TUJUAN PERENCANAAN, PRINSIP PERENCANAAN, FILOSOFI PERENCANAAN PROGRAM
PENGERTIAN PERENCANAAN
Perencanaan menurut Abe (2001) dalam Ovalhanif (2009) adalah susunan (rumusan) sistematik mengenai langkah-langkah mengenai langkah (tindakan-tindakan) yang akan dilakukan di masa depan, dengan didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang seksama atas potensi, faktor-faktor eksternal dan pihak-pihak yang berkepentingan dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu.
Menurut Tjokroamidjojo (1995) dalam Ovalhanif (2009) mendefinisikan perencanaan sebagai suatu cara bagaimana mencapai tujuan sebaik-baiknya (maksimum output) dengan sumber-sumber yang ada supaya lebih efisien dan efektif. Selanjutnya dikatakan bahwa, perencanaan merupakan penentuan tujuan yang akan dicapai atau yang akan dilakukan, bagaimana, bilamana dan oleh siapa.
Menurut Terry (1960) dalam Mardikanto (2010), perencanaan diartikan sebagai suatu proses pemilihan dan menghubung-hubungkan fakta, serta menggunakannya untuk menyusun asumsi-asumsi yang diduga bakal terjadi di masa datang, untuk kemudian merumuskan kegiatan-kegiatan yang diusulkan demi tercapainya tujuan-tujuan yang diharapkan.
Perencanaan juga diartikan sebagai suatu proses pengambilan keputusan yang berdasarkan fakta, mengenai kegiatan-kegiatan yang harus dilaksanakan demi tercapainya tujuan yang diharapkan atau yang dikehendaki.
Sesuai dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004, tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, maka Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional mencakup lima pendekatan yaitu: (1) politik, (2) teknokratik, (3) partisipatif, (4) atas-bawah (top-down), (5) bawah-atas (bottom-up).
Ahli-ahli teori perencanaan publik mengemukakan beberapa proses perencanaan (1) perencanaan teknokrat; (2) perencanaan partisipatif; (3) perencanaan top-down; (4) perencanaan bottom up (Wrihatnolo dan Dwidjowijoto, 1996).
1. Perencanaan teknokrat
Menurut Suzetta (2007) adalah proses perencanaan yang dirancang berdasarkan data dan hasil pengamatan kebutuhan masyarakat dari pengamat professional, baik kelompok masyarakat yang terdidik yang walau tidak mengalami sendiri namun berbekal pengetahuan yang dimiliki dapat menyimpulkan kebutuhan akan suatu barang yang tidak dapat disediakan pasar, untuk menghasilkan perspektif akademis pembangunan. Pengamat ini bisa pejabat pemerintah, bisa non-pemerintah, atau dari perguruan tinggi.
Menurut penjelasan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004, tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, “perencanaan teknokrat dilaksanakan dengan menggunakan metoda dan kerangka pikir ilmiah oleh lembaga atau satuan kerja yang secara fungsional bertugas untuk itu”.
2. Perencanaan partisipatif
Menurut Wrihatnolo dan Dwidjowijoto (1996) adalah proses perencanaan yang diwujudkan dalam musyawarah ini, dimana sebuah rancangan rencana dibahas dan dikembangkan bersama semua pelaku pembangunan (stakeholders). Pelaku pembangunan berasal dari semua aparat penyelenggara negara (eksekutif,legislatif, dan yudikatif), masyarakat, rohaniwan, dunia usaha, kelompok profesional, organisasi-organisasi non-pemerintah.
Menurut Sumarsono (2010), perencanaan partisipatif adalah metode perencanaan pembangunan dengan cara melibatkan warga masyarakat yang diposisikan sebagai subyek pembangunan.
Menurut penjelasan UU. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional: “perencanaan partisipatif dilaksanakan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan terhadap pembangunan. Pelibatan mereka adalah untuk mendapatkan aspirasi dan menciptakan rasa memiliki”. Dalam UU No. 25 Tahun 2004, dijelaskan pula “partisipasi masyarakat” adalah keikutsertaan untuk mengakomodasi kepentingan mereka dalam proses penyusunan rencana pembangunan.
3. Perencanaan top down
Menurut Suzetta (1997) adalah proses perencanaan yang dirancang oleh lembaga/departemen/daerah menyusun rencana pembangunan sesuai dengan wewenang dan fungsinya.
4. Perencanaan bottom up
Menurut (www.actano.com) adalah planning approach starting at the lowest hierarchical level and working upward (pendekatan perencanaan yang dimulai dari tingkatan hirarkis paling rendah menuju ke atas).
Selain itu, menurut penjelasan UU 25 Tahun 2004, pendekatan atas-bawah (top down) dan bawah-atas (bottom up) dalam perencanaan dilaksanakan menurut jenjang pemerintahan. Rencana hasil proses diselaraskan melalui musyawarah yang dilaksanakan di tingkat Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, dan Desa.
TUJUAN PERENCANAAN
Tujuan perencanaan menurut Stephen Robbins dan Mary Coulter dalam Wikipedia adalah (1) memberikan pengarahan yang baik; (2) mengurangi ketidakpastian; (3) meminimalisir pemborosan; (4) menetapkan tujuan dan standar yang digunakan dalam fungsi selanjutnya yaitu proses pengontrolan dan evaluasi.
Tujuan perencanaan dari masing-masing proses perencanaan sebagai berikut:
1. Perencanaan teknokrat
Tujuannya untuk membangun perencanaan strategis dan perencanaan kontingensi, menetapkan ketentuan-ketentuan, standar, prosedur petunjuk pelaksanaan serta evaluasi, pelaporan dan langkah taktis untuk menopang organisasi (Tomatala, 2010).
2. Perencanaan partisipatif
Tujuannya agar masyarakat diharapkan mampu mengetahui permasalahannya sendiri di lingkungannya, menilai potensi SDM dan SDA yang tersedia, dan merumuskan solusi yang paling menguntungkan.
3. Perencanaan top down
Tujuannya adalah untuk menyeragamkan “corak”, karena perencanaan top down menurut Djunaedi (2000) dalam kegiatan perencanaan kota dan daerah dilakukan dengan mengacu pada corak yang seragam yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan mengikuti “juklak dan juknis” (petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis).
4. Perencanaan bottom up
Tujuan adalah untuk menghimpun masukan dari “bawah”, karena menurut Sumarsono (2010), apabila di Indonesia perencanaan bottom up dimulai dari tingkat desa, yang biasanya dihadiri oleh mereka yang ditunjuk peraturan perundangan ataupun kebijakan lain, misalnya melalui kegiatan Musyawarah Pembangunan Desa (Musbangdes) atau Musyawarah Rencana Pembangunan Desa (Musrenbangdes).
PRINSIP PERENCANAAN
Secara umum prinsip perencanaan menurut Abe dalam Ovalhanif (2009) adalah:
1. Apa yang akan dilakukan, yang merupakan jabaran dari visi dan misi;
2. Bagaimana mencapai hal tersebut;
3. Siapa yang melakukan;
4. Lokasi aktivitas;
5. Kapan akan dilakukan, berapa lama;
6. Sumber daya yang dibutuhkan.
Prinsip-prinsip perencanaan menurut Prinsip-prinsip Penyusunan Renstra Satuan Kerja Perangkat Daerah/SKPD (2007) sebagai berikut:
A. Prinsip-prinsip perencanaan teknokratis:
1. Ada rumusan isu dan permasalahan pembangunan yang jelas;
2. Ada rumusan prioritas isu sesuai dengan urgensi, kepentingan, dan dampak isu terhadap kesejahteraan masyarakat;
3. Ada rumusan tujuan pembangunan yang memenuhi kriteria SMART (specific, measurable, achievable, result oriented, time bound);
4. Ada rumusan alternatif strategi untuk pencapaian tujuan;
5. Ada rumusan kebijakan untuk masing-masing strategi;
6. Ada pertimbangan atas kendala ketersediaan sumberdaya dan dana;
7. Ada prioritas program;
8. Ada tolok ukur dan target kinerja capaian program;
9. Ada pagu indikatif program;
10. Ada kejelasan siapa bertanggungjawab untuk mencapai tujuan, sasaran, dan hasil, serta waktu penyelesaian termasuk tinjau ulang kemanjuan pencapaian sasaran;
11. Ada kemampuan untuk menyesuaikan dari waktu ke waktu terhadap perkembangan internal dan eksternal yang terjadi;
12. Ada evaluasi terhadap proses perencanaan yang dilakukan;
13. Ada komunikasi dan konsultasi berkelanjutan dari dokumen yang dihasilkan;
14. Ada instrumen, metodologi, pendekatan yang tepat digunakan untuk mendukung proses perencanaan.
B. Prinsip-prinsip perencanaan partisipatif:
1. Ada identifikasi stakeholders yang relevan untuk dilibatkan dalam proses perumusan visi, misi, dan agenda SKPD serta dalam proses pengambilan keputusan penyusunan renstra SKPD;
2. Ada kesetaraan antara government dan non government stakeholders dalam pengambilan keputusan;
3. Ada transparansi dan akuntabilitas dalam proses perencanaan;
4. Ada keterwakilan yang memadai dari seluruh segmen masyarakat, terutama kaum perempuan dan kelompok marjinal;
5. Ada sense of ownership masyarakat terhadap renstra SKPD
6. Ada pelibatan media;
7. Ada konsensus atau kesepakatan pada semua tahapan penting pengambilan keputusan seperti perumusan prioritas isu dan permasalahan, perumusan tujuan, strategi, dan kebijakan, dan prioritas program.
C. Prinsip-prinsip perencanaan top down:
1. Ada sinergi dengan RPJM Nasional dan Renstra Kementerian/Lembaga;
2. Ada sinergi dan konsistensi dengan RPJPD dan RPJMD;
3. Ada sinergi dan konsistensi dengan RTRWD;
4. Ada sinergi dan komitmen pemerintah terhadap tujuan-tujuan pembangunan global Millenium Development Goals; Sustainable Development, pemenuhan HAM, pemenuhan air bersih dan sanitasi, dan sebagainya.
D. Prinsip-prinsip perencanaan bottom up :
1. Ada penjaringan aspirasi dan kebutuhan masyarakat untuk melihat konsistensi dengan visi, misi dan program Kepala Daerah terpilih;
2. Memperhatikan hasil proses musrenbang dan kesepakatan dengan masyarakat tentang prioritas pembangunan daerah;
3. Mempertimbangkan hasil Forum Multi Stakeholders SKPD;
4. Memperhatikan hasil Proses Penyusunan Renstra SKPD.
Sedangkan menurut Sumarsono (2010) prinsip perencanaan teknokrat dan partisipatif, dijelaskan sebagai berikut: pertama, prinsip perencanaan teknokrat yaitu dilakukan secara sepihak oleh para teknokrat yang duduk di struktur pemerintah, tidak melibatkan warga masyarakat, sehingga perencanaan pembangunan biasanya justru tidak sesuai dengan apa yang terjadi di lapangan, karena seringkali jauh dari harapan dan kebutuhan masyarakat. Masyarakat dibiarkan menjadi penonton saja. Kedua, prinsip perencanaan partisipatif yaitu masyarakat sebagai subyek pembangunan dalam arti memberikan peluang masyarakat untuk menggunakan hak-hak politiknya untuk memberikan masukan dan aspirasi dalam penyusunan perencanaan pembangunan.
FILOSOFI PERENCANAAN PROGRAM
Menurut Ovalhanif (2009), “filsafat perencanaan” adalah suatu studi tentang prinsip-prinsip dalam proses dan mekanisme perencanaan secara mendalam, luas, dan menyeluruh berdasarkan filsafat antologis, epistemologis, dan aksiologis.
Filsafat perencanaan juga diharapkan akan dapat menguraikan beberapa komponen penting perencanaan dalam sebuah perencanaan yakni tujuan apa yang hendak dicapai, kegiatan tindakan-tindakan untuk merealisasikan tujuan dan waktu kapan bilamana tindakan tersebut hendak dilakukan.
Kerangka pikir dari filosofi perencanaan dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Strategi perencanaan adalah untuk membentuk/membuat suatu konsep/konteks untuk keputusan dalam kelembagaan;
2. Tujuan dan proses perencanaan adalah untuk merumuskan arah pelembagaan dan berusaha untuk lebih baik;
3. Hasil yang diinginkan dari proses perencanaan adalah untuk menyajikan suatu dokumen yang penting, berguna bagi semua orang.
Filosofi perencanaan strategis mengandung visi, misi, tujuan, sasaran, kebijakan, program dan kegiatan yang realitas dengan mengantisipasi perkembangan masa depan.
1. Filosofi Perencanaan Teknokrat
a. Dilaksanakan oleh kelompok teknorat;
b. Keberadaan dimensi politik sebagai elemen yang secara signifikan mempengaruhi proses dan hasil perencanaan;
c. Perencanaan dipersepsikan menjadi sebagai alat pengambilan keputusan yang bebas nilai dan tidak ada urusannya dengan kepentingan dan proses politik yang dilakukan oleh para politikus dan pengambil keputusan. Politik sebagai elemen bebas yang menganggu keseimbangan dalam proses perencanaan yang terjadi;
d. Menempatkan masyarakat sebagai objek rekayasa dan politik sebagai sebuah elemen irasional dan varian yang harus dihindari;
e. Produk perencanaan memiliki posisi yang sangat signifikan dalam mentransformasi masyarakat.
2. Filosofi Perencanaan Partisipatif
Menekankan adanya peran serta aktif dari masyarakat dalam merencanakan pembangunan mulai dari pengenalan wilayah, pengidentifikasian masalah sampai penentuan skala prioritas.
3. Filosofi Perencanaan top down
a. Dilaksanakan oleh sekelompok elite politik;
b. Melibatkan lebih banyak teknokrat;
c. Mengandalkan otoritas dan diskresi;
d. Mempunyai argumen untuk meningkatkan efisiensi, penegakan peraturan, konsistensi input-target-output, dan publik/ masyarakat masih sulit dilibatkan.
4. Filosofi Perencanaan bottom up
a. Dilaksanakan secara kolektif;
b. Mengandalkan persuasi;
c. Mempunyai argumen untuk meningkatkan efektivitas, meningkatkan kinerja (performance, outcome), merupakan social virtue (kearifan sosial), serta masyarakat diasumsikan sudah paham hak-hak dan apa yang mereka butuhkan.
Perencanaan menurut Abe (2001) dalam Ovalhanif (2009) adalah susunan (rumusan) sistematik mengenai langkah-langkah mengenai langkah (tindakan-tindakan) yang akan dilakukan di masa depan, dengan didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang seksama atas potensi, faktor-faktor eksternal dan pihak-pihak yang berkepentingan dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu.
Menurut Tjokroamidjojo (1995) dalam Ovalhanif (2009) mendefinisikan perencanaan sebagai suatu cara bagaimana mencapai tujuan sebaik-baiknya (maksimum output) dengan sumber-sumber yang ada supaya lebih efisien dan efektif. Selanjutnya dikatakan bahwa, perencanaan merupakan penentuan tujuan yang akan dicapai atau yang akan dilakukan, bagaimana, bilamana dan oleh siapa.
Menurut Terry (1960) dalam Mardikanto (2010), perencanaan diartikan sebagai suatu proses pemilihan dan menghubung-hubungkan fakta, serta menggunakannya untuk menyusun asumsi-asumsi yang diduga bakal terjadi di masa datang, untuk kemudian merumuskan kegiatan-kegiatan yang diusulkan demi tercapainya tujuan-tujuan yang diharapkan.
Perencanaan juga diartikan sebagai suatu proses pengambilan keputusan yang berdasarkan fakta, mengenai kegiatan-kegiatan yang harus dilaksanakan demi tercapainya tujuan yang diharapkan atau yang dikehendaki.
Sesuai dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004, tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, maka Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional mencakup lima pendekatan yaitu: (1) politik, (2) teknokratik, (3) partisipatif, (4) atas-bawah (top-down), (5) bawah-atas (bottom-up).
Ahli-ahli teori perencanaan publik mengemukakan beberapa proses perencanaan (1) perencanaan teknokrat; (2) perencanaan partisipatif; (3) perencanaan top-down; (4) perencanaan bottom up (Wrihatnolo dan Dwidjowijoto, 1996).
1. Perencanaan teknokrat
Menurut Suzetta (2007) adalah proses perencanaan yang dirancang berdasarkan data dan hasil pengamatan kebutuhan masyarakat dari pengamat professional, baik kelompok masyarakat yang terdidik yang walau tidak mengalami sendiri namun berbekal pengetahuan yang dimiliki dapat menyimpulkan kebutuhan akan suatu barang yang tidak dapat disediakan pasar, untuk menghasilkan perspektif akademis pembangunan. Pengamat ini bisa pejabat pemerintah, bisa non-pemerintah, atau dari perguruan tinggi.
Menurut penjelasan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004, tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, “perencanaan teknokrat dilaksanakan dengan menggunakan metoda dan kerangka pikir ilmiah oleh lembaga atau satuan kerja yang secara fungsional bertugas untuk itu”.
2. Perencanaan partisipatif
Menurut Wrihatnolo dan Dwidjowijoto (1996) adalah proses perencanaan yang diwujudkan dalam musyawarah ini, dimana sebuah rancangan rencana dibahas dan dikembangkan bersama semua pelaku pembangunan (stakeholders). Pelaku pembangunan berasal dari semua aparat penyelenggara negara (eksekutif,legislatif, dan yudikatif), masyarakat, rohaniwan, dunia usaha, kelompok profesional, organisasi-organisasi non-pemerintah.
Menurut Sumarsono (2010), perencanaan partisipatif adalah metode perencanaan pembangunan dengan cara melibatkan warga masyarakat yang diposisikan sebagai subyek pembangunan.
Menurut penjelasan UU. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional: “perencanaan partisipatif dilaksanakan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan terhadap pembangunan. Pelibatan mereka adalah untuk mendapatkan aspirasi dan menciptakan rasa memiliki”. Dalam UU No. 25 Tahun 2004, dijelaskan pula “partisipasi masyarakat” adalah keikutsertaan untuk mengakomodasi kepentingan mereka dalam proses penyusunan rencana pembangunan.
3. Perencanaan top down
Menurut Suzetta (1997) adalah proses perencanaan yang dirancang oleh lembaga/departemen/daerah menyusun rencana pembangunan sesuai dengan wewenang dan fungsinya.
4. Perencanaan bottom up
Menurut (www.actano.com) adalah planning approach starting at the lowest hierarchical level and working upward (pendekatan perencanaan yang dimulai dari tingkatan hirarkis paling rendah menuju ke atas).
Selain itu, menurut penjelasan UU 25 Tahun 2004, pendekatan atas-bawah (top down) dan bawah-atas (bottom up) dalam perencanaan dilaksanakan menurut jenjang pemerintahan. Rencana hasil proses diselaraskan melalui musyawarah yang dilaksanakan di tingkat Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, dan Desa.
TUJUAN PERENCANAAN
Tujuan perencanaan menurut Stephen Robbins dan Mary Coulter dalam Wikipedia adalah (1) memberikan pengarahan yang baik; (2) mengurangi ketidakpastian; (3) meminimalisir pemborosan; (4) menetapkan tujuan dan standar yang digunakan dalam fungsi selanjutnya yaitu proses pengontrolan dan evaluasi.
Tujuan perencanaan dari masing-masing proses perencanaan sebagai berikut:
1. Perencanaan teknokrat
Tujuannya untuk membangun perencanaan strategis dan perencanaan kontingensi, menetapkan ketentuan-ketentuan, standar, prosedur petunjuk pelaksanaan serta evaluasi, pelaporan dan langkah taktis untuk menopang organisasi (Tomatala, 2010).
2. Perencanaan partisipatif
Tujuannya agar masyarakat diharapkan mampu mengetahui permasalahannya sendiri di lingkungannya, menilai potensi SDM dan SDA yang tersedia, dan merumuskan solusi yang paling menguntungkan.
3. Perencanaan top down
Tujuannya adalah untuk menyeragamkan “corak”, karena perencanaan top down menurut Djunaedi (2000) dalam kegiatan perencanaan kota dan daerah dilakukan dengan mengacu pada corak yang seragam yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan mengikuti “juklak dan juknis” (petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis).
4. Perencanaan bottom up
Tujuan adalah untuk menghimpun masukan dari “bawah”, karena menurut Sumarsono (2010), apabila di Indonesia perencanaan bottom up dimulai dari tingkat desa, yang biasanya dihadiri oleh mereka yang ditunjuk peraturan perundangan ataupun kebijakan lain, misalnya melalui kegiatan Musyawarah Pembangunan Desa (Musbangdes) atau Musyawarah Rencana Pembangunan Desa (Musrenbangdes).
PRINSIP PERENCANAAN
Secara umum prinsip perencanaan menurut Abe dalam Ovalhanif (2009) adalah:
1. Apa yang akan dilakukan, yang merupakan jabaran dari visi dan misi;
2. Bagaimana mencapai hal tersebut;
3. Siapa yang melakukan;
4. Lokasi aktivitas;
5. Kapan akan dilakukan, berapa lama;
6. Sumber daya yang dibutuhkan.
Prinsip-prinsip perencanaan menurut Prinsip-prinsip Penyusunan Renstra Satuan Kerja Perangkat Daerah/SKPD (2007) sebagai berikut:
A. Prinsip-prinsip perencanaan teknokratis:
1. Ada rumusan isu dan permasalahan pembangunan yang jelas;
2. Ada rumusan prioritas isu sesuai dengan urgensi, kepentingan, dan dampak isu terhadap kesejahteraan masyarakat;
3. Ada rumusan tujuan pembangunan yang memenuhi kriteria SMART (specific, measurable, achievable, result oriented, time bound);
4. Ada rumusan alternatif strategi untuk pencapaian tujuan;
5. Ada rumusan kebijakan untuk masing-masing strategi;
6. Ada pertimbangan atas kendala ketersediaan sumberdaya dan dana;
7. Ada prioritas program;
8. Ada tolok ukur dan target kinerja capaian program;
9. Ada pagu indikatif program;
10. Ada kejelasan siapa bertanggungjawab untuk mencapai tujuan, sasaran, dan hasil, serta waktu penyelesaian termasuk tinjau ulang kemanjuan pencapaian sasaran;
11. Ada kemampuan untuk menyesuaikan dari waktu ke waktu terhadap perkembangan internal dan eksternal yang terjadi;
12. Ada evaluasi terhadap proses perencanaan yang dilakukan;
13. Ada komunikasi dan konsultasi berkelanjutan dari dokumen yang dihasilkan;
14. Ada instrumen, metodologi, pendekatan yang tepat digunakan untuk mendukung proses perencanaan.
B. Prinsip-prinsip perencanaan partisipatif:
1. Ada identifikasi stakeholders yang relevan untuk dilibatkan dalam proses perumusan visi, misi, dan agenda SKPD serta dalam proses pengambilan keputusan penyusunan renstra SKPD;
2. Ada kesetaraan antara government dan non government stakeholders dalam pengambilan keputusan;
3. Ada transparansi dan akuntabilitas dalam proses perencanaan;
4. Ada keterwakilan yang memadai dari seluruh segmen masyarakat, terutama kaum perempuan dan kelompok marjinal;
5. Ada sense of ownership masyarakat terhadap renstra SKPD
6. Ada pelibatan media;
7. Ada konsensus atau kesepakatan pada semua tahapan penting pengambilan keputusan seperti perumusan prioritas isu dan permasalahan, perumusan tujuan, strategi, dan kebijakan, dan prioritas program.
C. Prinsip-prinsip perencanaan top down:
1. Ada sinergi dengan RPJM Nasional dan Renstra Kementerian/Lembaga;
2. Ada sinergi dan konsistensi dengan RPJPD dan RPJMD;
3. Ada sinergi dan konsistensi dengan RTRWD;
4. Ada sinergi dan komitmen pemerintah terhadap tujuan-tujuan pembangunan global Millenium Development Goals; Sustainable Development, pemenuhan HAM, pemenuhan air bersih dan sanitasi, dan sebagainya.
D. Prinsip-prinsip perencanaan bottom up :
1. Ada penjaringan aspirasi dan kebutuhan masyarakat untuk melihat konsistensi dengan visi, misi dan program Kepala Daerah terpilih;
2. Memperhatikan hasil proses musrenbang dan kesepakatan dengan masyarakat tentang prioritas pembangunan daerah;
3. Mempertimbangkan hasil Forum Multi Stakeholders SKPD;
4. Memperhatikan hasil Proses Penyusunan Renstra SKPD.
Sedangkan menurut Sumarsono (2010) prinsip perencanaan teknokrat dan partisipatif, dijelaskan sebagai berikut: pertama, prinsip perencanaan teknokrat yaitu dilakukan secara sepihak oleh para teknokrat yang duduk di struktur pemerintah, tidak melibatkan warga masyarakat, sehingga perencanaan pembangunan biasanya justru tidak sesuai dengan apa yang terjadi di lapangan, karena seringkali jauh dari harapan dan kebutuhan masyarakat. Masyarakat dibiarkan menjadi penonton saja. Kedua, prinsip perencanaan partisipatif yaitu masyarakat sebagai subyek pembangunan dalam arti memberikan peluang masyarakat untuk menggunakan hak-hak politiknya untuk memberikan masukan dan aspirasi dalam penyusunan perencanaan pembangunan.
FILOSOFI PERENCANAAN PROGRAM
Menurut Ovalhanif (2009), “filsafat perencanaan” adalah suatu studi tentang prinsip-prinsip dalam proses dan mekanisme perencanaan secara mendalam, luas, dan menyeluruh berdasarkan filsafat antologis, epistemologis, dan aksiologis.
Filsafat perencanaan juga diharapkan akan dapat menguraikan beberapa komponen penting perencanaan dalam sebuah perencanaan yakni tujuan apa yang hendak dicapai, kegiatan tindakan-tindakan untuk merealisasikan tujuan dan waktu kapan bilamana tindakan tersebut hendak dilakukan.
Kerangka pikir dari filosofi perencanaan dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Strategi perencanaan adalah untuk membentuk/membuat suatu konsep/konteks untuk keputusan dalam kelembagaan;
2. Tujuan dan proses perencanaan adalah untuk merumuskan arah pelembagaan dan berusaha untuk lebih baik;
3. Hasil yang diinginkan dari proses perencanaan adalah untuk menyajikan suatu dokumen yang penting, berguna bagi semua orang.
Filosofi perencanaan strategis mengandung visi, misi, tujuan, sasaran, kebijakan, program dan kegiatan yang realitas dengan mengantisipasi perkembangan masa depan.
1. Filosofi Perencanaan Teknokrat
a. Dilaksanakan oleh kelompok teknorat;
b. Keberadaan dimensi politik sebagai elemen yang secara signifikan mempengaruhi proses dan hasil perencanaan;
c. Perencanaan dipersepsikan menjadi sebagai alat pengambilan keputusan yang bebas nilai dan tidak ada urusannya dengan kepentingan dan proses politik yang dilakukan oleh para politikus dan pengambil keputusan. Politik sebagai elemen bebas yang menganggu keseimbangan dalam proses perencanaan yang terjadi;
d. Menempatkan masyarakat sebagai objek rekayasa dan politik sebagai sebuah elemen irasional dan varian yang harus dihindari;
e. Produk perencanaan memiliki posisi yang sangat signifikan dalam mentransformasi masyarakat.
2. Filosofi Perencanaan Partisipatif
Menekankan adanya peran serta aktif dari masyarakat dalam merencanakan pembangunan mulai dari pengenalan wilayah, pengidentifikasian masalah sampai penentuan skala prioritas.
3. Filosofi Perencanaan top down
a. Dilaksanakan oleh sekelompok elite politik;
b. Melibatkan lebih banyak teknokrat;
c. Mengandalkan otoritas dan diskresi;
d. Mempunyai argumen untuk meningkatkan efisiensi, penegakan peraturan, konsistensi input-target-output, dan publik/ masyarakat masih sulit dilibatkan.
4. Filosofi Perencanaan bottom up
a. Dilaksanakan secara kolektif;
b. Mengandalkan persuasi;
c. Mempunyai argumen untuk meningkatkan efektivitas, meningkatkan kinerja (performance, outcome), merupakan social virtue (kearifan sosial), serta masyarakat diasumsikan sudah paham hak-hak dan apa yang mereka butuhkan.
RAGAM DAN PENYEBAB PERUBAHAN
RAGAM DAN PENYEBAB PERUBAHAN
RAGAM PERUBAHAN
Beberapa ragam perubahan sosial sebagai berikut:
1. Perubahan dilihat dari waktu:
a. Perubahan secara lambat (evolusi) yaitu perubahan yang memerlukan jangka waktu yang panjang, dengan ciri: memerlukan waktu yang lama, perubahan tidak disadari masyarakat, tidak diikuti oleh konflik, dan tidak menimbulkan kekerasan.
b. Perubahan secara cepat (revolusi) yaitu perubahan yang terjadi dalam tempo yang sangat cepat, dengan ciri: membutuhkan waktu yang singkat, perubahannya besar karena menyangkut sendi-sendi pokok kehidupan, perubahan disadari atau direncanakan, seringkali diikuti oleh kekerasan atau menimbulkan konflik.
2. Perubahan dilihat dari memberi pengaruh
a. Perubahan yang pengaruhnya kecil: perubahan yang tidak membawa pengaruh langsung bagi masyarakat.
b. Perubahan yang membawa pengaruh besar: perubahan yang membawa pengaruh langsung terhadap kehidupan masyarakat karena perubahan yang terjadi pada unsur-unsur sosial dan budaya masyarakat.
3. Perubahan yang dikehendaki atau direncanakan dan perubahan yang tidak dikehendaki atau tidak direncanakan;
a. Perubahan yang direncanakan/ terencana: perubahan yang sudah diperkirakan sebelumnya oleh pihak-pihak tertentu yang ada dalam masyarakat. Menurut Mardikanto (2010) perubahan terencana, pada hakekatnya merupakan suatu proses yang dinamis, yang direncanakan oleh seseorang (secara individual atau yang tergabung dalam suatu lembaga-lembaga sosial). Artinya, perubahan tersebut memang menuntut dinamika masyarakat untuk mengantisipasi keadaan-keadaan di masa mendatang (yang diduga akan mengalami perubahan) melalui pengumpulan data (baik yang aktual maupun yang potensial) dan menganalisisnya, untuk kemudian merancang suatu tujuan-tujuan dan cara mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan di masa mendatang. Oleh sebab itu, perubahan terencana selalu menuntut adanya: perencanaan, pelaksanaan kegiatan yang direncakanan, dan evaluasi terhadap pelaksanaan dan hasil-hasil kegiatan yang telah dilaksanakan.
b. Perubahan yang tidak direncanakan: perubahan yang tidak diperkirakan sebelumnya. Biasanya perubahan ini muncul sebagai dampak dari perubahan yang direncanakan.
4. Perubahan sebagai suatu kemajuan (progress): perubahan yang memberi kemajuan kepada masyarakat. Kemajuan ini dapat memberikan keuntungan dan kemudahan pada manusia.
5. Perubahan sebagai suatu kemunduran (regress). Perubahan itu ternyata tidak menguntungkan bagi masyarakat, maka perubahan itu dianggap sebagai kemunduran yang harus diterima oleh masyarakat.
Ragam perubahan yang lain dan pada saat ini sering diperbincangkan adalah:
1. Modernisasi adalah proses perubahan tradisi, sikap, dan sistem nilai dalam rangka menyesuaikan diri dengan kemajuan yang telah dicapai oleh bangsa lain, sehingga suatu bangsa dapat bertahan secara wajar di tengah tekanan berbagai masalah hidup di dunia dewasa ini;
2. Globalisasi adalah suatu sistem atau tatanan yang menyebabkan seseorang tidak mungkin untuk mengisolasi diri sebagai akibat dari kemajuan teknologi dan komunikasi dunia. Atau suatu kondisi dimana tidak ada lagi batas-batas antara satu negara dengan negara lain dalam hal teknologi komunikasi.
Beberapa ragam perubahan budaya, sebagai berikut :
a. Akulturasi yaitu bersatunya dua kebudayaan, sehingga membentuk kebudayaan baru tanpa menghilangkan unsur kebudayaan asli.
b. Asimilasi yaitu bercampurnya dua kebudayaan, sehingga membentuk kebudayaan baru.
c. Sintesis yaitu bercampurnya dua kebudayaan yang berakibat pada terbentuknya sebuah kebudayaan baru yang sangat berbeda dengan kebudayaan asli.
FAKTOR PENYEBAB PERUBAHAN
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan tersebut adalah faktor intern dan ekstern, sebagai berikut:
1. Faktor intern antara lain:
a. Bertambahnya penduduk dan berkurangnya penduduk (kelahiran, kematian, migrasi)
b. Adanya penemuan baru
1) Discovery: penemuan ide atau alat baru yang sebelumnya belum pernah ada;
2) Invention: penyempurnaan penemuan baru
3) Innovation: pembaharuan atau penemuan baru yang diterapkan dalam kehidupan masyarakat, sehingga menambah, melengkapi atau mengganti yang telah ada.
Penemuan baru didorong oleh kesadaran masyarakat akan kekurangan unsure dalam kehidupannya, kualitas ahli atau anggota masyarakat
c. Konflik yang terjadi dalam masyarakat
d. Pemberontakan atau revolusi
2. Faktor ekstern, antara lain:
a. Perubahan alam
b. Peperangan
c. Pengaruh kebudayaan lain melalui difusi (penyebaran kebudayaan), akulturasi (pembauran antar budaya yang masih terlihat masing-masing sifat khasnya), asimilasi (pembauran antar budaya yang menghasilkan budaya yang sama sekali baru dan batas budaya lama tidak tampak lagi)
Ragam perubahan budaya seperti akulturasi, asimilasi, dan sintesis disebabkan oleh penetrasi damai, masuknya kebudayaan dengan jalan damai. Kebudayaan juga bisa berubah karena penetrasi kekerasan (masuknya kebudayaan dengan cara memaksa dan merusak, seperti pada saat penjajahan).
Tiga faktor yang dapat mempengaruhi perubahan sosial: tekanan kerja dalam masyarakat; keefektifan komunikasi; perubahan lingkungan alam. Soekanto (1990) menyatakan bahwa faktor pendorong perubahan sosial adalah: (1) Sikap menghargai hasil karya orang lain; (2) Keinginan untuk maju; (3) Sistem pendidikan yang maju; (4) Toleransi terhadap perubahan; (5) Sistem pelapisan yang terbuka; (6) Penduduk yang heterogen; (7) Ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang kehidupan tertentu; (8) Orientasi ke masa depan; (9) Sikap mudah menerima hal baru;
Menurut Hussey (2000), faktor pendorong perubahan adalah perubahan teknologi yang terus meningkat, persaingan yang semakin intensif dan menjadi global, pelanggan semakin banyak tuntutan, profil demografis negara berubah, privatisasi bisnis milik masyarakat berlanjut dan stakeholders meminta lebih banyak nilai. Sedangkan Kreitner dan Kinicki (2001), menyebutkan akan kebutuhan perubahan dipengaruhi oleh kekuatan eksternal (demographics, characteristics, technological advancements, market change, social and political pressures) dan kekuatan internal (human resources problems/prospect, managerial behavior/decisions).
Menurut Greenberg dan Baron, terdapat beberapa faktor yang merupakan kekuatan dibelakang kebutuhan akan perubahan. Mereka memisahkan antara perubahan terencana dan perubahan tidak terencana. Perubahan terencana adalah aktivitas yang dimaksudkan dan diarahkan dalam sifat dan desainnya untuk memenuhi tujuan organisasi. Sementara itu perubahan tidak terencana merupakan pergeseran dalam aktivitas organisasi karena adanya kekuatan yang sifatnya eksternal, di luar kontor organisasi. Kekuatan dalam perubahan terencana yang dihadapi organisasi disebutkan: change in product service, change organizational size and structure, change in administrative sytem, introduction of new technology.
Dibawah ini adalah faktor-faktor pendorong terjadinya perubahan menurut (Robbins, 2003), yaitu antara lain:
1. Nature of Workforce (Sifat Tenaga Kerja);
2. Technology (Teknologi);
3. Economic shocks (kejutan ekonomi);
4. Competition (Persaingan);
5. Social trend (Kecenderungan Sosial);
6. World Politic (Politik Dunia).
Lippit dkk dalam Mardikanto (2010) mengemukakan bahwa perubahan-perubahan yang disebabkan perilaku manusia disebabkan oleh:
1. Adanya keinginan manusia untuk selalu memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang semakin berubah, dan atau keinginan mereka untuk dapat memecahkan masalah-masalah yang dihadapi; dengan memodifikasi atau memanipulasi sumberdaya dan lingkungan di sekelilingnya, melalui penerapan ilmu pengetahuan yang dikuasainya;
2. Adanya atau telah diketemukannya inovasi-inovasi yang memberikan peluang atau menumbuhkan aspirasi-aspirasi baru bagi setiap manusia untuk berusaha memenuhi kebutuhan atau memperbaiki kesejahteraan hidupnya, tanpa harus mengganggu lingkungan aslinya.
Kedua alasan tersebut, seringkali menumbuhkan motivasi pada diri seseorang dan atau masyarakat/bangsa untuk melakukan upaya-upaya tertentu yang mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan. Sebab jika ia tetap tinggal diam, akan menjadi orang terbelakang atau ketinggalan (Mardikanto, 2010).
Sehubungan dengan terjadinya perubahan-perubahan kebutuhan tersebut, maka Dahama dan Bhatnagar dalam Mardikanto (2010) mengemukan faktor-faktor pendorong terjadinya perubahan, yang meliputi:
1. Adanya keinginan manusia untuk selalu melakukan “modifikasi” tentang kebutuhan-kebutuhan, baik untk menghadapi masalah-masalah jangka pendek maupun jangka panjang. Selaras dengan itu, setiap individu atau masyarakatnya juga terus-menerus melakukan koreksi-koreksi terhadap cara atau upaya-upaya serta teknologi yang harus diterapkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan “baru” tersebut
2. Terjadinya persaingan-persaingan antar individu atau masyarakat yang senantiasa ingin memenuhi kebutuhan, dan hal ini hanya dapat dimenangkan melalui upaya-upaya perubahan dengan mengeksploitasi dan atau memodifikasi sumberdaya (fisik dan non fisik) yang tersedia dan dapat dimanfaatkan di lingkungannya.
3. Terjadi kerusakan-kerusakan lingkungan fisik dan kelembagaan sebagai akibat persaingan antar individu atau antar masyarakat yang saling bersaing untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
RAGAM PERUBAHAN
Beberapa ragam perubahan sosial sebagai berikut:
1. Perubahan dilihat dari waktu:
a. Perubahan secara lambat (evolusi) yaitu perubahan yang memerlukan jangka waktu yang panjang, dengan ciri: memerlukan waktu yang lama, perubahan tidak disadari masyarakat, tidak diikuti oleh konflik, dan tidak menimbulkan kekerasan.
b. Perubahan secara cepat (revolusi) yaitu perubahan yang terjadi dalam tempo yang sangat cepat, dengan ciri: membutuhkan waktu yang singkat, perubahannya besar karena menyangkut sendi-sendi pokok kehidupan, perubahan disadari atau direncanakan, seringkali diikuti oleh kekerasan atau menimbulkan konflik.
2. Perubahan dilihat dari memberi pengaruh
a. Perubahan yang pengaruhnya kecil: perubahan yang tidak membawa pengaruh langsung bagi masyarakat.
b. Perubahan yang membawa pengaruh besar: perubahan yang membawa pengaruh langsung terhadap kehidupan masyarakat karena perubahan yang terjadi pada unsur-unsur sosial dan budaya masyarakat.
3. Perubahan yang dikehendaki atau direncanakan dan perubahan yang tidak dikehendaki atau tidak direncanakan;
a. Perubahan yang direncanakan/ terencana: perubahan yang sudah diperkirakan sebelumnya oleh pihak-pihak tertentu yang ada dalam masyarakat. Menurut Mardikanto (2010) perubahan terencana, pada hakekatnya merupakan suatu proses yang dinamis, yang direncanakan oleh seseorang (secara individual atau yang tergabung dalam suatu lembaga-lembaga sosial). Artinya, perubahan tersebut memang menuntut dinamika masyarakat untuk mengantisipasi keadaan-keadaan di masa mendatang (yang diduga akan mengalami perubahan) melalui pengumpulan data (baik yang aktual maupun yang potensial) dan menganalisisnya, untuk kemudian merancang suatu tujuan-tujuan dan cara mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan di masa mendatang. Oleh sebab itu, perubahan terencana selalu menuntut adanya: perencanaan, pelaksanaan kegiatan yang direncakanan, dan evaluasi terhadap pelaksanaan dan hasil-hasil kegiatan yang telah dilaksanakan.
b. Perubahan yang tidak direncanakan: perubahan yang tidak diperkirakan sebelumnya. Biasanya perubahan ini muncul sebagai dampak dari perubahan yang direncanakan.
4. Perubahan sebagai suatu kemajuan (progress): perubahan yang memberi kemajuan kepada masyarakat. Kemajuan ini dapat memberikan keuntungan dan kemudahan pada manusia.
5. Perubahan sebagai suatu kemunduran (regress). Perubahan itu ternyata tidak menguntungkan bagi masyarakat, maka perubahan itu dianggap sebagai kemunduran yang harus diterima oleh masyarakat.
Ragam perubahan yang lain dan pada saat ini sering diperbincangkan adalah:
1. Modernisasi adalah proses perubahan tradisi, sikap, dan sistem nilai dalam rangka menyesuaikan diri dengan kemajuan yang telah dicapai oleh bangsa lain, sehingga suatu bangsa dapat bertahan secara wajar di tengah tekanan berbagai masalah hidup di dunia dewasa ini;
2. Globalisasi adalah suatu sistem atau tatanan yang menyebabkan seseorang tidak mungkin untuk mengisolasi diri sebagai akibat dari kemajuan teknologi dan komunikasi dunia. Atau suatu kondisi dimana tidak ada lagi batas-batas antara satu negara dengan negara lain dalam hal teknologi komunikasi.
Beberapa ragam perubahan budaya, sebagai berikut :
a. Akulturasi yaitu bersatunya dua kebudayaan, sehingga membentuk kebudayaan baru tanpa menghilangkan unsur kebudayaan asli.
b. Asimilasi yaitu bercampurnya dua kebudayaan, sehingga membentuk kebudayaan baru.
c. Sintesis yaitu bercampurnya dua kebudayaan yang berakibat pada terbentuknya sebuah kebudayaan baru yang sangat berbeda dengan kebudayaan asli.
FAKTOR PENYEBAB PERUBAHAN
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan tersebut adalah faktor intern dan ekstern, sebagai berikut:
1. Faktor intern antara lain:
a. Bertambahnya penduduk dan berkurangnya penduduk (kelahiran, kematian, migrasi)
b. Adanya penemuan baru
1) Discovery: penemuan ide atau alat baru yang sebelumnya belum pernah ada;
2) Invention: penyempurnaan penemuan baru
3) Innovation: pembaharuan atau penemuan baru yang diterapkan dalam kehidupan masyarakat, sehingga menambah, melengkapi atau mengganti yang telah ada.
Penemuan baru didorong oleh kesadaran masyarakat akan kekurangan unsure dalam kehidupannya, kualitas ahli atau anggota masyarakat
c. Konflik yang terjadi dalam masyarakat
d. Pemberontakan atau revolusi
2. Faktor ekstern, antara lain:
a. Perubahan alam
b. Peperangan
c. Pengaruh kebudayaan lain melalui difusi (penyebaran kebudayaan), akulturasi (pembauran antar budaya yang masih terlihat masing-masing sifat khasnya), asimilasi (pembauran antar budaya yang menghasilkan budaya yang sama sekali baru dan batas budaya lama tidak tampak lagi)
Ragam perubahan budaya seperti akulturasi, asimilasi, dan sintesis disebabkan oleh penetrasi damai, masuknya kebudayaan dengan jalan damai. Kebudayaan juga bisa berubah karena penetrasi kekerasan (masuknya kebudayaan dengan cara memaksa dan merusak, seperti pada saat penjajahan).
Tiga faktor yang dapat mempengaruhi perubahan sosial: tekanan kerja dalam masyarakat; keefektifan komunikasi; perubahan lingkungan alam. Soekanto (1990) menyatakan bahwa faktor pendorong perubahan sosial adalah: (1) Sikap menghargai hasil karya orang lain; (2) Keinginan untuk maju; (3) Sistem pendidikan yang maju; (4) Toleransi terhadap perubahan; (5) Sistem pelapisan yang terbuka; (6) Penduduk yang heterogen; (7) Ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang kehidupan tertentu; (8) Orientasi ke masa depan; (9) Sikap mudah menerima hal baru;
Menurut Hussey (2000), faktor pendorong perubahan adalah perubahan teknologi yang terus meningkat, persaingan yang semakin intensif dan menjadi global, pelanggan semakin banyak tuntutan, profil demografis negara berubah, privatisasi bisnis milik masyarakat berlanjut dan stakeholders meminta lebih banyak nilai. Sedangkan Kreitner dan Kinicki (2001), menyebutkan akan kebutuhan perubahan dipengaruhi oleh kekuatan eksternal (demographics, characteristics, technological advancements, market change, social and political pressures) dan kekuatan internal (human resources problems/prospect, managerial behavior/decisions).
Menurut Greenberg dan Baron, terdapat beberapa faktor yang merupakan kekuatan dibelakang kebutuhan akan perubahan. Mereka memisahkan antara perubahan terencana dan perubahan tidak terencana. Perubahan terencana adalah aktivitas yang dimaksudkan dan diarahkan dalam sifat dan desainnya untuk memenuhi tujuan organisasi. Sementara itu perubahan tidak terencana merupakan pergeseran dalam aktivitas organisasi karena adanya kekuatan yang sifatnya eksternal, di luar kontor organisasi. Kekuatan dalam perubahan terencana yang dihadapi organisasi disebutkan: change in product service, change organizational size and structure, change in administrative sytem, introduction of new technology.
Dibawah ini adalah faktor-faktor pendorong terjadinya perubahan menurut (Robbins, 2003), yaitu antara lain:
1. Nature of Workforce (Sifat Tenaga Kerja);
2. Technology (Teknologi);
3. Economic shocks (kejutan ekonomi);
4. Competition (Persaingan);
5. Social trend (Kecenderungan Sosial);
6. World Politic (Politik Dunia).
Lippit dkk dalam Mardikanto (2010) mengemukakan bahwa perubahan-perubahan yang disebabkan perilaku manusia disebabkan oleh:
1. Adanya keinginan manusia untuk selalu memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang semakin berubah, dan atau keinginan mereka untuk dapat memecahkan masalah-masalah yang dihadapi; dengan memodifikasi atau memanipulasi sumberdaya dan lingkungan di sekelilingnya, melalui penerapan ilmu pengetahuan yang dikuasainya;
2. Adanya atau telah diketemukannya inovasi-inovasi yang memberikan peluang atau menumbuhkan aspirasi-aspirasi baru bagi setiap manusia untuk berusaha memenuhi kebutuhan atau memperbaiki kesejahteraan hidupnya, tanpa harus mengganggu lingkungan aslinya.
Kedua alasan tersebut, seringkali menumbuhkan motivasi pada diri seseorang dan atau masyarakat/bangsa untuk melakukan upaya-upaya tertentu yang mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan. Sebab jika ia tetap tinggal diam, akan menjadi orang terbelakang atau ketinggalan (Mardikanto, 2010).
Sehubungan dengan terjadinya perubahan-perubahan kebutuhan tersebut, maka Dahama dan Bhatnagar dalam Mardikanto (2010) mengemukan faktor-faktor pendorong terjadinya perubahan, yang meliputi:
1. Adanya keinginan manusia untuk selalu melakukan “modifikasi” tentang kebutuhan-kebutuhan, baik untk menghadapi masalah-masalah jangka pendek maupun jangka panjang. Selaras dengan itu, setiap individu atau masyarakatnya juga terus-menerus melakukan koreksi-koreksi terhadap cara atau upaya-upaya serta teknologi yang harus diterapkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan “baru” tersebut
2. Terjadinya persaingan-persaingan antar individu atau masyarakat yang senantiasa ingin memenuhi kebutuhan, dan hal ini hanya dapat dimenangkan melalui upaya-upaya perubahan dengan mengeksploitasi dan atau memodifikasi sumberdaya (fisik dan non fisik) yang tersedia dan dapat dimanfaatkan di lingkungannya.
3. Terjadi kerusakan-kerusakan lingkungan fisik dan kelembagaan sebagai akibat persaingan antar individu atau antar masyarakat yang saling bersaing untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
TEORI PERUBAHAN
TEORI PERUBAHAN
TEORI
• HAKEKAT TEORI
Suatu teori pada hakikatnya merupakan hubungan antara dua fakta atau lebih, atau pengaturan fakta menurut cara tertentu. Fakta tersebut merupakan sesuatu yang dapat diamati dana pada umumnya dapat diuji secara empiris. Oleh sebab itu, dalam bentuknya yang paling sederhana, suatu teori merupakan hubungan antara dua variable atau lebih, yang telah diuji kebenarannya. Suatu variable merupakan karakteristik dari orang-orang, benda-benda atau keadaan yang mempunyai nilai-nilai yang berbeda-beda, seperti usia, jenis kelamin, dan lain sebagainya (Soekanto, 1990).
Secara umum teori merupakan analisis hubungan antara fakta yang satu dengan fakta yang lain pada sekumpulan fakta-fakta. Teori berasal dari penarikan kesimpulan yang memiliki potensi kesalahan, berbeda dengan penarikan kesimpulan pada pembuktian matematika. Neuman mendefinisikan teori sosial adalah sebuah sistem dari keterkaitan abstraksi atau ide-ide yang meringkas dan mengorganisasikan pengetahuan tentang dunia sosial.
• KEGUNAAN TEORI
Menurut Soekanto (1990), bagi seseorang yang mempelajari sosiologi, maka teori tersebut mempunyai kegunaan antar lain
1. Suatu teori atau beberapa teori merupakan ikhtisar dari hal-hal yang telah diketahui, serta diuji kebenarannya yang menyangkut obyek yang dipelajari sosiologi;
2. Teori memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan pada seseorang yang memperdalam pengetahuannya di bidang sosiologi;
3. Teori berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang dipelajari oleh sosiologi;
4. Teori berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang dipelajari sosiologi;
5. Suatu teori akan sangat berguna dalam mengembangkan sistem klasifikasi, membina struktur konsep-konsep serta mempertimbangkan definisi-definisi yang penting dalam penelitian;
6. Pengetahuan teoritis memberikan kemungkinan-kemungkinan untuk mengadakan proyeksi sosial, yaitu usaha untuk dapat mengetahui kea rah mana, masyarakat akan berkembang atas dasar fakta yang diketahui masa lampau dan pada dewasa ini.
TEORI PERUBAHAN PERILAKU
Perubahan atau adopsi perilaku adalah suatu proses yang kompleks dan memerlukan waktu yang relatif lama. Secara teori perubahan perilaku atau seseorang menerima atau mengadopsi perilaku baru dalam kehidupannya melalui tiga tahap, yaitu:
1. Pengetahuan, hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yaitu indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.
2. Sikap, merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap stimulus/obyek. Sesudah seseorang mengetahui stimulus atau obyek, proses selanjutnya akan menilai atau bersikap terhadap stimulus atau obyek tersebut.
3. Praktek atau tindakan, setelah seseorang mengetahui stimulus atau obyek, kemudian mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui, proses selanjutnya diharapkan seseorang akan melaksanakan apa yang diketahui atau disikapinya (dinilai baik).
Beckhard dan Haris (1987) merumuskan teori-teori motivasi untuk berubah. Perubahan akan terjadi jika ada sejumlah syarat, yaitu:
1. Manfaat biaya, manfaat yang diperoleh harus lebih besar dari biaya perubahan.
2. Ketidakpuasan, adanya ketidakpuasan yang menonjol terhadap keadaan sekarang;
3. Persepsi hari esok, manusia dalam suatu organisasi melihat hari esok yang dipersiapkan menjadi lebih baik;
4. Cara yang praktis, ada cara yang praktis yang dapat ditempuh untuk keluar dari situasi yang sekarang.
Beckhard dan Haris juga menganjurkan agar sebaiknya fokus kita ke depan, daripada berbicara terhadap hari esok, sebagai berikut:
1. Memberikan semangat (optimis) dan membuang perasaan pesimis;
2. Mendorong orang-orang yang menentukan perannya dalam perubahan dan menciptakan kepatuhan;
3. Mengurangi ketidakpusan dan perasaan-perasaan tidak nyaman
4. Memberikan fokus perhatian dan upaya-upaya mengatasi masalah daripada symptom-symptom untuk membuat kegiatan dan organisasi bekerja secara efektif.
Salah satu kelemahan teori ini adalah tidak mudah mengajak orang-orang percaya terhadap apa yang mereka lihat dan mengajak mereka melihat atau berpersepsi tentang hari esok.
Skiner (1938) seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa perilaku merupakan hasil hubungan antara stimulus (rangsangan) dan respon atau reaksi, disebut teori “S-O-R” atau stimulus organisme respons. Skiner membedakan adanya dua respons, yaitu :
1. Respondent respons atau reflexive, yakni respons yg ditimbulkan stimulus tertentu yaitu elicting stimulation yang menimbulkan respons yg relatif tetap, misal : makanan lezat menimbulkan nafsu makan, cahaya terang menyebabkan mata tertutup
2. Operant respons / instrumental respons, yakni respons yg timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus tertentu yaitu reinforcer yang dapat memperkuat respons, misal : petugas kesehatan yg dapat melaksanakan tugas yg baik kemudian memperoleh penghargaan, maka petugas tersebut akan lebih baik lagi dalam menjalankan tugas
Menurut Skiner (1997), seorang ahil psikologis mengatakan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus, maka perilaku ini dapat dibedakan menjadi dua:
1. Perilaku tertutup, respon atau reaksi terhadap stimulus pada perhatian atau kesadaran dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain
2. Perilaku terbuka, respon terhadap stimulus ini sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek, yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain.
Teori perubahan perilaku menurut Rogers (1974):
a. Awareness (kesadaran), yakni individu menyadari adanya stimulus yang datang terlebih dahulu;
b. Interest (perhatian/tertarik), individu mulai tertarik dengan adanya stimulus yang masuk;
c. Evaluation (menilai), individu mulai menimbang-nimbang baik dan buruknya apabila mengikuti stimulus tersebut;
d. Trial (mencoba) individu mulai mencoba perilaku baru;
e. Adoption (menerima), individu telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.
Dari teori-teori di atas merupakan pendekatan pada perubahan individu, selain itu untuk mendorong perubahan dapat difokuskan pada tataran kelompok. Fokus perubahan mesti dipusatkan pada tataran kelompok dan selayaknya berkonsentrasi untuk mempengaruhi norma, peran dan nilai kelompok (French dan Bell, 1994), atau sering dinamakan Dinamika Kelompok. Dinamika Kelompok terbukti cukup berpengaruh dalam mengembangkan teori dan praktek manajemen perubahan. Hal ini tercermin pada kelaziman bagi organisasi untuk melihat organisasi mereka sebagai satuan kelompok dan tim, dan bukan sekedar individu (Mullins, 1989).
TEORI PERUBAHAN SOSIAL
Teori perubahan sosial dan budaya Karl Max yang merumuskan bahwa perubahan sosial dan budaya sebagai produk dari sebuah produksi (materialism), sedangkan Max Weber lebih pada gagasan, sistem pengetahuan, sistem kepercayaan yang justru menjadi sebab perubahan.
Menurut Soekanto (1990), para ahli filsafat, sejarah dan para sosiolog telah mencoba untuk merumuskan prinsip-prinsip atau hukum-hukum perubahan-perubahan sosial. Banyak yang berpendapat bahwa kecenderungan terjadinya perubahan sosial merupakan gejala wajar yang timbul dari pergaulan manusia.
Yang lain berpendapat bahwa perubahan sosial terjadi karena adanya perubahan dalam unsur-unsur yang mempertahankan keseimbangan masyarakat seperti perubahan unsur-unsur geografis, biologis, ekonomis, atau kebudayaan. Kemudian ada yang berpendapat pula, bahwa perubahan-perubahan sosial bersifat periodik dan periodik. Pokoknya, pendapat-pendapat tersebut pada umumnya menyatakan bahwa “perubahan merupakan lingkaran kejadian-kejadian”.
Pitirim A. Sorokin berpendapat bahwa segenap usaha untuk mengemukakan bahwa ada suatu kecenderungan yang tertentu dan tetap dalam perubahan-perubahan sosial, “tidak akan berhasil baik”. Dia meragukan kebenaran akan adanya lingkaran-lingkaran perubahan sosial tersebut. Akan tetapi perubahan-perubahan tetap ada, dan yang paling penting adalah bahwa “lingkaran terjadinya gejala-gejala sosial harus dipelajari, karena dengan jalan tersebut barulah dapat diperoleh generalisasi.
Beberapa sosiolog berpendapat, bahwa kondisi-kondisi sosial primer yang menyebabkan perubahan. Misalnya kondisi-kondisi ekonomis, teknologis, geografis, atau biologis, menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan pada aspek-aspek kehidupan laiinnya. Sebaliknya ada pula yang mengatakan bahwa semua kondisi tersebut sama pentingnya, satu atau semua akan menelorkan perubahan-perubahan sosial.
PERUBAHAN SOSIAL SEBAGAI SUATU BENTUK “EVOLUSI”
Perkembangan masyarakat sering dianalogkan seperti halnya proses evolusi, suatu proses perubahan yang berlangsung lambat. Pemikiran ini sangat dipengaruhi oleh hasil-hasil penemuan ilmu “biologi”, yang memang telah berkembang pesat. Pelatak dasar pemikiran perubahan sosial sebagai suatu bentuk evolusi antara lain Herbert Spencer dan August Comte. Keduanya memiliki pandangan tentang perubahan yang terjadi pada suatu masyarakat dalam bentuk perkembangan linear menuju ke arah yang positif. Perubahan sosial menurut pandangan mereka berjalan lambat, namun menuju bentuk “kesempurnaan masyarakat”.
Pemikiran Spencer sangat dipengaruhi oleh ahli biologi pencetus ide evolusi sebagai “proses seleksi alam”, Charles Darwin, dengan menunjukkan bahwa: “perubahan sosial juga adalah proses seleksi”. Masyarakat berkembang dengan paradigm Darwinian: ada proses seleksi dalam masyarakat kita atas individu-individunya. Spencer menganalogikan masyarakat sebagai layaknya perkembangan makhluk hidup. Manusia dan masyarakat, termasuk di dalamnya “kebudayaan” mengalami perkembangan secara bertahap. Mula-mula berasal dari bentuk sederhana, kemudian berkembang dalam bentuk yang lebih kompleks menuju tahap akhir yang sempurna.
Pemikiran Comte sangat dipengaruhi aliran postivisme, yaitu memandang bahwa masyarakat harus menjalani berbagai tahap evolusi yang pada masing-masing tahap tersebut dihubungkan dengan pola pemikiran tertentu. Selanjutnya Comte menjelaskan bahwa tiap kemunculan tahap baru akan diawali dengan pertentangan antara pemikiran tradisional dan pemikiran yang bersifat progresif. Comte menyatakan bahwa dengan pembagian kerja, masyarakat akan menjadi komplesk, terdeferiansi, dan terspesialisasi.
PERUBAHAN SOSIAL SEBAGAI SUATU BENTUK “SIKLUS”
Berbeda dengan Spencer dan Comte yang menggunakan konsepsi optimisme, Oswald Spengler cenderung ke arah pesimisme. Menurutnya, kehidupan manusia pada dasarnya merupakan suatu rangkaian yang tidak pernah berakhir dengan pasang surut, seperti halnya organisme yang mempunyai siklus mulai dari kelahiran, masa anak-anak, dewasa, masa tua, dan kematian. “Perkembangan pada masyarakat merupakan siklus yang terus akan berulang dan tidak berarti kumulatif”.
PERUBAHAN SOSIAL DALAM TEORI FUNGSIONAL
Talcott Parsons melahirkan teori fungsional tentang perubahan. Parsons menganalogikan perubahan sosial pada masyarakat sepertinya halnya pertumbuhan makhluk hidup. Komponen utama pemikiran Parson adalah “proses diferensiasi”.
Parsons berasumsi bahwa setiap masyarakat tersusun dari sekumpulan subsistem yang berbeda berdasarkan “makna fungsionalnya” bagi masyarakat yang lebih luas. Ketika masyarakat berubah, umumnya masyarakat tersebut akan tumbuh dengan kemampuan yang lebih baik untuk menanggulangi permasalahan hidupnya. Dapat dikatakan Parsons termasuk dalam golongan yang memandang optimis sebuah proses perubahan.
Bahasan tentang struktural fungsional Parsons ini akan diawali dengan empat fungsi yang penting untuk semua tindakan. Suatu fungsi adalah kumpulan kegiatan yang ditujukan pada pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistem. Parsons menyampaikan empat fungsi yang harus dimiliki oleh sebuah sistem agar mampu bertahan, yaitu:
1. Adaptasi, sebuah sistem harus mampu menanggulangi situasi eksternal yang gawat. Sistem harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan;
2. Pencapaian, sebuah sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuan utamanya;
3. Integrasi, sebuah sistem harus mengatur hubungan antar bagian yang menjadi komponennya. Sistem juga harus dapat mengelola hubungan antara ketiga fungsi penting lainnya.
4. Pemeliharaan Pola, sebuah sistem harus melengkapi, memelihara, dan memperbaiki motivasi individual maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang motivasi.
Teori struktural fungsional mengasumsikan bahwa masyarakat merupakan sebuah sistem yang terdiri dari berbagai bagian atau subsistem yang saling berhubungan. Bagian-bagian tersebut berfungsi dalam setiap kegiatan yang dapat meningkatkan kelangsungan hidup dari sistem. Fokus utama dari teori ini adalah mendefinisikan kegiatan yang dibutuhkan untuk menjaga kelangsungan hidup sistem sosial. Terdapat beberapa bagian dari sistem sosial yang perlu dijadikan fokus perhatian antar lain: faktor individu, proses sosialisasi , sistem ekonomi, pembagian kerja, dan nilai/norma yang berlaku.
PERUBAHAN SOSIAL DALAM TEORI KONFLIK
Fenomena kompetisi dan konflik yang muncul dapat dipahami sebagai sebuah mekanisme perubahan sosial masyarakat. Menurut Ralf Dahrendorf dalam teori konflik-nya, memandang masyarakat sebagai suatu hal yang statis, namun senantiasa berubah oleh terjadinya konflik dalam masyarakat. Dahrendorf menunujukkan bahwa kepentingan kelas bawah menantang legitimasi struktur otoritas yang ada. Kepentingan antara dua kelas yang berlawanan ditentukan oleh sifat struktur otoritas dan bukan oleh orientasi individu pribadi yang di dalamnya. Individu tidak harus sadar atas kelasnya untuk kemudian menantang kelas sosial yang lain.
PERUBAHAN TERKAIT DENGAN TEORI PERTUKARAN
Tokoh-tokoh yang mengembangkan teori pertukaran sosial antara lain adalah psikolog John Thibaut dan Harlod Kelley (1959), sosiolog George Homans (1961), Richard Emerson (1962), dan Peter Blau (1964). Teori ini memandang hubungan interpersonal sebagai suatu transaksi dagang. Orang
berhubungan dengan orang lain karena mengharapkan sesuatu yang memenuhi kebutuhannya. Thibaut dan Kelley, pemuka utama dari teori ini menyimpulkan teori ini sebagai berikut: “Asumsi dasar yang mendasari seluruh analisis kami adalah bahwa setiap individu secara sukarela memasuki dan tinggal dalam hubungan sosial hanya selama hubungan tersebut cukup memuaskan ditinjau dari segi ganjaran dan biaya”.
Berdasarkan teori ini, kita masuk ke dalam hubungan pertukaran dengan orang lain karena dari padanya kita memperoleh imbalan. Dengan kata lain hubungan pertukaran dengan orang lain akan menghasilkan suatu imbalan bagi kita. Teori pertukaran sosial pun melihat antara perilaku dengan lingkungan terdapat hubungan yang saling mempengaruhi (reciprocal). Karena lingkungan kita umumnya terdiri atas orang-orang lain, maka kita dan orang-orang lain tersebut dipandang mempunyai perilaku yang saling mempengaruhi.
Dalam hubungan tersebut terdapat unsur imbalan (reward), pengorbanan (cost) dan keuntungan (profit). Imbalan merupakan segala hal yang diperloleh melalui adanya pengorbanan, pengorbanan merupakan semua hal yang dihindarkan, dan keuntungan adalah imbalan dikurangi oleh pengorbanan. Jadi perilaku sosial terdiri atas pertukaran paling sedikit antar dua orang berdasarkan perhitungan untung-rugi. Misalnya, pola-pola perilaku di tempat kerja, percintaan, perkawinan, persahabatan - hanya akan langgeng manakala kalau semua pihak yang terlibat merasa teruntungkan. Jadi perilaku seseorang dimunculkan karena berdasarkan perhitungannya, akan menguntungkan bagi dirinya, demikian pula sebaliknya jika merugikan maka perilaku tersebut tidak ditampilkan.
Empat konsep pokok, ganjaran, biaya, laba, dan tingkat perbandingan merupakan empat konsep pokok dalam teori ini.
1. Ganjaran ialah setiap akibat yang dinilai positif yang diperoleh seseorang dari suatu hubungan. Ganjaran berupa uang, penerimaan sosial atau dukungan terhadap nilai yang dipegangnya.
2. Biaya adalah akibat yang dinilai negatif yang terjadi dalam suatu hubungan. Biaya itu dapat berupa waktu, usaha, konflik, kecemasan, dan keruntuhan harga diri dan kondisi-kondisi lain yang dapat menghabiskan sumber kekayaan individu atau dapat menimbulkan efek-efek yang tidak menyenangkan.
3. Hasil atau laba adalah ganjaran dikurangi biaya. Bila seorang individu merasa, dalam suatu hubungan interpersonal, bahwa ia tidak memperoleh laba sama sekali, ia akan mencari hubungan lain yang mendatangkan laba.
4. Tingkat perbandingan menunjukkan ukuran baku (standar) yang dipakai sebagai kriteria dalam menilai hubungan individu pada waktu sekarang. Ukuran baku ini dapat berupa pengalaman individu pada masa lalu atau alternatif hubungan lain yang terbuka baginya.
Teori pertukaran sosial beranggapan orang berhubungan dengan orang lain karena mengharapkan sesuatu yang memenuhi kebutuhannya. Pada pendekatan obyektif cenderung menganggap manusia yang mereka amati sebagai pasif dan perubahannya disebabkan kekuatan-kekuatan sosial di luar diri mereka. Pendekatan ini juga berpendapat, hingga derajat tertentu perilaku manusia dapat diramalkan, meskipun ramalan tersebut tidak setepat ramalan perilaku alam. Dengan kata lain, hukum-hukum yang berlaku pada perilaku manusia bersifat mungkin (probabilistik). Misalnya, kalau mahasiswa lebih rajin belajar, mereka (mungkin) akan mendapatkan nilai lebih baik; kalau kita ramah kepada orang lain, orang lain (mungkin) akan ramah kepada kita; bila suami isteri sering bertengkar, mereka (mungkin) akan bercerai.
TEORI
• HAKEKAT TEORI
Suatu teori pada hakikatnya merupakan hubungan antara dua fakta atau lebih, atau pengaturan fakta menurut cara tertentu. Fakta tersebut merupakan sesuatu yang dapat diamati dana pada umumnya dapat diuji secara empiris. Oleh sebab itu, dalam bentuknya yang paling sederhana, suatu teori merupakan hubungan antara dua variable atau lebih, yang telah diuji kebenarannya. Suatu variable merupakan karakteristik dari orang-orang, benda-benda atau keadaan yang mempunyai nilai-nilai yang berbeda-beda, seperti usia, jenis kelamin, dan lain sebagainya (Soekanto, 1990).
Secara umum teori merupakan analisis hubungan antara fakta yang satu dengan fakta yang lain pada sekumpulan fakta-fakta. Teori berasal dari penarikan kesimpulan yang memiliki potensi kesalahan, berbeda dengan penarikan kesimpulan pada pembuktian matematika. Neuman mendefinisikan teori sosial adalah sebuah sistem dari keterkaitan abstraksi atau ide-ide yang meringkas dan mengorganisasikan pengetahuan tentang dunia sosial.
• KEGUNAAN TEORI
Menurut Soekanto (1990), bagi seseorang yang mempelajari sosiologi, maka teori tersebut mempunyai kegunaan antar lain
1. Suatu teori atau beberapa teori merupakan ikhtisar dari hal-hal yang telah diketahui, serta diuji kebenarannya yang menyangkut obyek yang dipelajari sosiologi;
2. Teori memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan pada seseorang yang memperdalam pengetahuannya di bidang sosiologi;
3. Teori berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang dipelajari oleh sosiologi;
4. Teori berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang dipelajari sosiologi;
5. Suatu teori akan sangat berguna dalam mengembangkan sistem klasifikasi, membina struktur konsep-konsep serta mempertimbangkan definisi-definisi yang penting dalam penelitian;
6. Pengetahuan teoritis memberikan kemungkinan-kemungkinan untuk mengadakan proyeksi sosial, yaitu usaha untuk dapat mengetahui kea rah mana, masyarakat akan berkembang atas dasar fakta yang diketahui masa lampau dan pada dewasa ini.
TEORI PERUBAHAN PERILAKU
Perubahan atau adopsi perilaku adalah suatu proses yang kompleks dan memerlukan waktu yang relatif lama. Secara teori perubahan perilaku atau seseorang menerima atau mengadopsi perilaku baru dalam kehidupannya melalui tiga tahap, yaitu:
1. Pengetahuan, hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yaitu indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.
2. Sikap, merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap stimulus/obyek. Sesudah seseorang mengetahui stimulus atau obyek, proses selanjutnya akan menilai atau bersikap terhadap stimulus atau obyek tersebut.
3. Praktek atau tindakan, setelah seseorang mengetahui stimulus atau obyek, kemudian mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui, proses selanjutnya diharapkan seseorang akan melaksanakan apa yang diketahui atau disikapinya (dinilai baik).
Beckhard dan Haris (1987) merumuskan teori-teori motivasi untuk berubah. Perubahan akan terjadi jika ada sejumlah syarat, yaitu:
1. Manfaat biaya, manfaat yang diperoleh harus lebih besar dari biaya perubahan.
2. Ketidakpuasan, adanya ketidakpuasan yang menonjol terhadap keadaan sekarang;
3. Persepsi hari esok, manusia dalam suatu organisasi melihat hari esok yang dipersiapkan menjadi lebih baik;
4. Cara yang praktis, ada cara yang praktis yang dapat ditempuh untuk keluar dari situasi yang sekarang.
Beckhard dan Haris juga menganjurkan agar sebaiknya fokus kita ke depan, daripada berbicara terhadap hari esok, sebagai berikut:
1. Memberikan semangat (optimis) dan membuang perasaan pesimis;
2. Mendorong orang-orang yang menentukan perannya dalam perubahan dan menciptakan kepatuhan;
3. Mengurangi ketidakpusan dan perasaan-perasaan tidak nyaman
4. Memberikan fokus perhatian dan upaya-upaya mengatasi masalah daripada symptom-symptom untuk membuat kegiatan dan organisasi bekerja secara efektif.
Salah satu kelemahan teori ini adalah tidak mudah mengajak orang-orang percaya terhadap apa yang mereka lihat dan mengajak mereka melihat atau berpersepsi tentang hari esok.
Skiner (1938) seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa perilaku merupakan hasil hubungan antara stimulus (rangsangan) dan respon atau reaksi, disebut teori “S-O-R” atau stimulus organisme respons. Skiner membedakan adanya dua respons, yaitu :
1. Respondent respons atau reflexive, yakni respons yg ditimbulkan stimulus tertentu yaitu elicting stimulation yang menimbulkan respons yg relatif tetap, misal : makanan lezat menimbulkan nafsu makan, cahaya terang menyebabkan mata tertutup
2. Operant respons / instrumental respons, yakni respons yg timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus tertentu yaitu reinforcer yang dapat memperkuat respons, misal : petugas kesehatan yg dapat melaksanakan tugas yg baik kemudian memperoleh penghargaan, maka petugas tersebut akan lebih baik lagi dalam menjalankan tugas
Menurut Skiner (1997), seorang ahil psikologis mengatakan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus, maka perilaku ini dapat dibedakan menjadi dua:
1. Perilaku tertutup, respon atau reaksi terhadap stimulus pada perhatian atau kesadaran dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain
2. Perilaku terbuka, respon terhadap stimulus ini sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek, yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain.
Teori perubahan perilaku menurut Rogers (1974):
a. Awareness (kesadaran), yakni individu menyadari adanya stimulus yang datang terlebih dahulu;
b. Interest (perhatian/tertarik), individu mulai tertarik dengan adanya stimulus yang masuk;
c. Evaluation (menilai), individu mulai menimbang-nimbang baik dan buruknya apabila mengikuti stimulus tersebut;
d. Trial (mencoba) individu mulai mencoba perilaku baru;
e. Adoption (menerima), individu telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.
Dari teori-teori di atas merupakan pendekatan pada perubahan individu, selain itu untuk mendorong perubahan dapat difokuskan pada tataran kelompok. Fokus perubahan mesti dipusatkan pada tataran kelompok dan selayaknya berkonsentrasi untuk mempengaruhi norma, peran dan nilai kelompok (French dan Bell, 1994), atau sering dinamakan Dinamika Kelompok. Dinamika Kelompok terbukti cukup berpengaruh dalam mengembangkan teori dan praktek manajemen perubahan. Hal ini tercermin pada kelaziman bagi organisasi untuk melihat organisasi mereka sebagai satuan kelompok dan tim, dan bukan sekedar individu (Mullins, 1989).
TEORI PERUBAHAN SOSIAL
Teori perubahan sosial dan budaya Karl Max yang merumuskan bahwa perubahan sosial dan budaya sebagai produk dari sebuah produksi (materialism), sedangkan Max Weber lebih pada gagasan, sistem pengetahuan, sistem kepercayaan yang justru menjadi sebab perubahan.
Menurut Soekanto (1990), para ahli filsafat, sejarah dan para sosiolog telah mencoba untuk merumuskan prinsip-prinsip atau hukum-hukum perubahan-perubahan sosial. Banyak yang berpendapat bahwa kecenderungan terjadinya perubahan sosial merupakan gejala wajar yang timbul dari pergaulan manusia.
Yang lain berpendapat bahwa perubahan sosial terjadi karena adanya perubahan dalam unsur-unsur yang mempertahankan keseimbangan masyarakat seperti perubahan unsur-unsur geografis, biologis, ekonomis, atau kebudayaan. Kemudian ada yang berpendapat pula, bahwa perubahan-perubahan sosial bersifat periodik dan periodik. Pokoknya, pendapat-pendapat tersebut pada umumnya menyatakan bahwa “perubahan merupakan lingkaran kejadian-kejadian”.
Pitirim A. Sorokin berpendapat bahwa segenap usaha untuk mengemukakan bahwa ada suatu kecenderungan yang tertentu dan tetap dalam perubahan-perubahan sosial, “tidak akan berhasil baik”. Dia meragukan kebenaran akan adanya lingkaran-lingkaran perubahan sosial tersebut. Akan tetapi perubahan-perubahan tetap ada, dan yang paling penting adalah bahwa “lingkaran terjadinya gejala-gejala sosial harus dipelajari, karena dengan jalan tersebut barulah dapat diperoleh generalisasi.
Beberapa sosiolog berpendapat, bahwa kondisi-kondisi sosial primer yang menyebabkan perubahan. Misalnya kondisi-kondisi ekonomis, teknologis, geografis, atau biologis, menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan pada aspek-aspek kehidupan laiinnya. Sebaliknya ada pula yang mengatakan bahwa semua kondisi tersebut sama pentingnya, satu atau semua akan menelorkan perubahan-perubahan sosial.
PERUBAHAN SOSIAL SEBAGAI SUATU BENTUK “EVOLUSI”
Perkembangan masyarakat sering dianalogkan seperti halnya proses evolusi, suatu proses perubahan yang berlangsung lambat. Pemikiran ini sangat dipengaruhi oleh hasil-hasil penemuan ilmu “biologi”, yang memang telah berkembang pesat. Pelatak dasar pemikiran perubahan sosial sebagai suatu bentuk evolusi antara lain Herbert Spencer dan August Comte. Keduanya memiliki pandangan tentang perubahan yang terjadi pada suatu masyarakat dalam bentuk perkembangan linear menuju ke arah yang positif. Perubahan sosial menurut pandangan mereka berjalan lambat, namun menuju bentuk “kesempurnaan masyarakat”.
Pemikiran Spencer sangat dipengaruhi oleh ahli biologi pencetus ide evolusi sebagai “proses seleksi alam”, Charles Darwin, dengan menunjukkan bahwa: “perubahan sosial juga adalah proses seleksi”. Masyarakat berkembang dengan paradigm Darwinian: ada proses seleksi dalam masyarakat kita atas individu-individunya. Spencer menganalogikan masyarakat sebagai layaknya perkembangan makhluk hidup. Manusia dan masyarakat, termasuk di dalamnya “kebudayaan” mengalami perkembangan secara bertahap. Mula-mula berasal dari bentuk sederhana, kemudian berkembang dalam bentuk yang lebih kompleks menuju tahap akhir yang sempurna.
Pemikiran Comte sangat dipengaruhi aliran postivisme, yaitu memandang bahwa masyarakat harus menjalani berbagai tahap evolusi yang pada masing-masing tahap tersebut dihubungkan dengan pola pemikiran tertentu. Selanjutnya Comte menjelaskan bahwa tiap kemunculan tahap baru akan diawali dengan pertentangan antara pemikiran tradisional dan pemikiran yang bersifat progresif. Comte menyatakan bahwa dengan pembagian kerja, masyarakat akan menjadi komplesk, terdeferiansi, dan terspesialisasi.
PERUBAHAN SOSIAL SEBAGAI SUATU BENTUK “SIKLUS”
Berbeda dengan Spencer dan Comte yang menggunakan konsepsi optimisme, Oswald Spengler cenderung ke arah pesimisme. Menurutnya, kehidupan manusia pada dasarnya merupakan suatu rangkaian yang tidak pernah berakhir dengan pasang surut, seperti halnya organisme yang mempunyai siklus mulai dari kelahiran, masa anak-anak, dewasa, masa tua, dan kematian. “Perkembangan pada masyarakat merupakan siklus yang terus akan berulang dan tidak berarti kumulatif”.
PERUBAHAN SOSIAL DALAM TEORI FUNGSIONAL
Talcott Parsons melahirkan teori fungsional tentang perubahan. Parsons menganalogikan perubahan sosial pada masyarakat sepertinya halnya pertumbuhan makhluk hidup. Komponen utama pemikiran Parson adalah “proses diferensiasi”.
Parsons berasumsi bahwa setiap masyarakat tersusun dari sekumpulan subsistem yang berbeda berdasarkan “makna fungsionalnya” bagi masyarakat yang lebih luas. Ketika masyarakat berubah, umumnya masyarakat tersebut akan tumbuh dengan kemampuan yang lebih baik untuk menanggulangi permasalahan hidupnya. Dapat dikatakan Parsons termasuk dalam golongan yang memandang optimis sebuah proses perubahan.
Bahasan tentang struktural fungsional Parsons ini akan diawali dengan empat fungsi yang penting untuk semua tindakan. Suatu fungsi adalah kumpulan kegiatan yang ditujukan pada pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistem. Parsons menyampaikan empat fungsi yang harus dimiliki oleh sebuah sistem agar mampu bertahan, yaitu:
1. Adaptasi, sebuah sistem harus mampu menanggulangi situasi eksternal yang gawat. Sistem harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan;
2. Pencapaian, sebuah sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuan utamanya;
3. Integrasi, sebuah sistem harus mengatur hubungan antar bagian yang menjadi komponennya. Sistem juga harus dapat mengelola hubungan antara ketiga fungsi penting lainnya.
4. Pemeliharaan Pola, sebuah sistem harus melengkapi, memelihara, dan memperbaiki motivasi individual maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang motivasi.
Teori struktural fungsional mengasumsikan bahwa masyarakat merupakan sebuah sistem yang terdiri dari berbagai bagian atau subsistem yang saling berhubungan. Bagian-bagian tersebut berfungsi dalam setiap kegiatan yang dapat meningkatkan kelangsungan hidup dari sistem. Fokus utama dari teori ini adalah mendefinisikan kegiatan yang dibutuhkan untuk menjaga kelangsungan hidup sistem sosial. Terdapat beberapa bagian dari sistem sosial yang perlu dijadikan fokus perhatian antar lain: faktor individu, proses sosialisasi , sistem ekonomi, pembagian kerja, dan nilai/norma yang berlaku.
PERUBAHAN SOSIAL DALAM TEORI KONFLIK
Fenomena kompetisi dan konflik yang muncul dapat dipahami sebagai sebuah mekanisme perubahan sosial masyarakat. Menurut Ralf Dahrendorf dalam teori konflik-nya, memandang masyarakat sebagai suatu hal yang statis, namun senantiasa berubah oleh terjadinya konflik dalam masyarakat. Dahrendorf menunujukkan bahwa kepentingan kelas bawah menantang legitimasi struktur otoritas yang ada. Kepentingan antara dua kelas yang berlawanan ditentukan oleh sifat struktur otoritas dan bukan oleh orientasi individu pribadi yang di dalamnya. Individu tidak harus sadar atas kelasnya untuk kemudian menantang kelas sosial yang lain.
PERUBAHAN TERKAIT DENGAN TEORI PERTUKARAN
Tokoh-tokoh yang mengembangkan teori pertukaran sosial antara lain adalah psikolog John Thibaut dan Harlod Kelley (1959), sosiolog George Homans (1961), Richard Emerson (1962), dan Peter Blau (1964). Teori ini memandang hubungan interpersonal sebagai suatu transaksi dagang. Orang
berhubungan dengan orang lain karena mengharapkan sesuatu yang memenuhi kebutuhannya. Thibaut dan Kelley, pemuka utama dari teori ini menyimpulkan teori ini sebagai berikut: “Asumsi dasar yang mendasari seluruh analisis kami adalah bahwa setiap individu secara sukarela memasuki dan tinggal dalam hubungan sosial hanya selama hubungan tersebut cukup memuaskan ditinjau dari segi ganjaran dan biaya”.
Berdasarkan teori ini, kita masuk ke dalam hubungan pertukaran dengan orang lain karena dari padanya kita memperoleh imbalan. Dengan kata lain hubungan pertukaran dengan orang lain akan menghasilkan suatu imbalan bagi kita. Teori pertukaran sosial pun melihat antara perilaku dengan lingkungan terdapat hubungan yang saling mempengaruhi (reciprocal). Karena lingkungan kita umumnya terdiri atas orang-orang lain, maka kita dan orang-orang lain tersebut dipandang mempunyai perilaku yang saling mempengaruhi.
Dalam hubungan tersebut terdapat unsur imbalan (reward), pengorbanan (cost) dan keuntungan (profit). Imbalan merupakan segala hal yang diperloleh melalui adanya pengorbanan, pengorbanan merupakan semua hal yang dihindarkan, dan keuntungan adalah imbalan dikurangi oleh pengorbanan. Jadi perilaku sosial terdiri atas pertukaran paling sedikit antar dua orang berdasarkan perhitungan untung-rugi. Misalnya, pola-pola perilaku di tempat kerja, percintaan, perkawinan, persahabatan - hanya akan langgeng manakala kalau semua pihak yang terlibat merasa teruntungkan. Jadi perilaku seseorang dimunculkan karena berdasarkan perhitungannya, akan menguntungkan bagi dirinya, demikian pula sebaliknya jika merugikan maka perilaku tersebut tidak ditampilkan.
Empat konsep pokok, ganjaran, biaya, laba, dan tingkat perbandingan merupakan empat konsep pokok dalam teori ini.
1. Ganjaran ialah setiap akibat yang dinilai positif yang diperoleh seseorang dari suatu hubungan. Ganjaran berupa uang, penerimaan sosial atau dukungan terhadap nilai yang dipegangnya.
2. Biaya adalah akibat yang dinilai negatif yang terjadi dalam suatu hubungan. Biaya itu dapat berupa waktu, usaha, konflik, kecemasan, dan keruntuhan harga diri dan kondisi-kondisi lain yang dapat menghabiskan sumber kekayaan individu atau dapat menimbulkan efek-efek yang tidak menyenangkan.
3. Hasil atau laba adalah ganjaran dikurangi biaya. Bila seorang individu merasa, dalam suatu hubungan interpersonal, bahwa ia tidak memperoleh laba sama sekali, ia akan mencari hubungan lain yang mendatangkan laba.
4. Tingkat perbandingan menunjukkan ukuran baku (standar) yang dipakai sebagai kriteria dalam menilai hubungan individu pada waktu sekarang. Ukuran baku ini dapat berupa pengalaman individu pada masa lalu atau alternatif hubungan lain yang terbuka baginya.
Teori pertukaran sosial beranggapan orang berhubungan dengan orang lain karena mengharapkan sesuatu yang memenuhi kebutuhannya. Pada pendekatan obyektif cenderung menganggap manusia yang mereka amati sebagai pasif dan perubahannya disebabkan kekuatan-kekuatan sosial di luar diri mereka. Pendekatan ini juga berpendapat, hingga derajat tertentu perilaku manusia dapat diramalkan, meskipun ramalan tersebut tidak setepat ramalan perilaku alam. Dengan kata lain, hukum-hukum yang berlaku pada perilaku manusia bersifat mungkin (probabilistik). Misalnya, kalau mahasiswa lebih rajin belajar, mereka (mungkin) akan mendapatkan nilai lebih baik; kalau kita ramah kepada orang lain, orang lain (mungkin) akan ramah kepada kita; bila suami isteri sering bertengkar, mereka (mungkin) akan bercerai.
TENTANG PERUBAHAN
TENTANG PERUBAHAN
Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakekat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan. Hirschmann dalam Wikipedia, mengatakan bahwa, kebosanan manusia sebenarnya merupakan penyebab perubahan. Namun di sisi lain, (Mardikanto, 2010) selaras dengan peradaban manusia, telah terjadi perubahan-perubahan di dalam kehidupan manusia yang apabila ditinjau dari sifatnya, yaitu:
1. Perubahan alami;
2. Perubahan kondisi lingkungan fisik;
3. Perubahan yang terjadi sebagai akibat ulah atau perilaku manusia di dalam kehidupan sehari-hari.
Dampak globalisasi telah menyebabkan perubahan yang sangat cepat dalam berbagai sektor kehidupan, baik sebagai: (1) pribadi, yang antara lain adaptasi, perubahan kebutuhan, orientasi karir, pola konsumsi maupun pola adaptasi, lingkungan; (2) lingkungan keluarga; (3) masyarakat; (4) industri; (5) organisasi; dan bahkan komunitas yang lebih luas lagi yaitu (6) bangsa dan negara.
Menurut Rahardjo (2010), para ilmuwan sosial membedakan perubahan dalam masyarakat menjadi 3 jenis, yaitu:
1. “Perubahan peradaban”, biasanya dikaitkan dengan perubahan unsur-unsur atau aspek yang lebih bersifat fisik, seperti mesin-mesin, pakaian, sarana komunikasi, transportasi, bangunan rumah, dan sebagainya yang berjalan cepat;
2. “Perubahan budaya”, menyangkut aspek rohaniah, seperti keyakinan, nilai-nilai, pengetahuan, dan penghatan seni;
3. Perubahan sosial, menunjuk pada perubahan aspek-aspek hubungan sosial, pranata-pranata masyarakat dan pola perilaku kelompok.
Apabila terkait dengan perubahan sosial, maka menurut Wikipedia dijelaskan bahwa perubahan sosial dapat berupa (1) Perubahan sosial dan (2) perubahan kultur/budaya. Perubahan sosial budaya adalah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat. Antara manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat dilepaskan dengan kebudayaan itu sendiri. Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi dalam setiap masyarakat.
Terkait dengan arah perubahan, apabila ditinjau dari perubahan masyarakat dapat dianalisa dari berbagai segi, diantaranya: ke ”arah” mana perubahan dalam masyarakat itu “bergerak” (direction of change), dalam arti perubahan itu bergerak meninggalkan faktor yang diubah. Akan tetapi setelah meninggalkan faktor itu mungkin perubahan itu bergerak kepada sesuatu bentuk yang baru sama sekali, atau bergerak kepada suatu bentuk yang sudah ada di dalam waktu yang lampau.
Menurut Sztompka (1993), ruang lingkup perubahan terkait dengan pemikiran sistem, adalah:
1. Tingkat makro yaitu keseluruhan masyarakat dunia;
2. Tingkat menengah (mezo) yaitu negara bangsa dan kesatuan politik regional atau aliansi militer;
3. Tingkat mikro, yaitu komunitas lokal, asosiasi, perusahaan, keluarga, atau ikatan pertemanan.
Apabila dilihat dari proses perubahan, misalnya perubahan sosial biasanya terdiri dari tiga tahap, yaitu:
1. Invensi, yakni proses di mana ide-ide baru diciptakan dan dikembangkan
2. Difusi, yakni proses di mana ide-ide baru itu dikomunikasikan ke dalam sistem sosial
3. Konsekuensi, yakni perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem sosial sebagai akibat pengadopsian atau penolakan inovasi. Perubahan terjadi jika penggunaan atau penolakan ide baru itu mempunyai akibat.
Menurut Chandra (2010), tahapan yang terjadi dalam menghadapi perubahan, sebagai berikut:
1. Tahap I: menyangkal
Strategi awal yang biasa digunakan orang dalam menghadapi perubahan adalah menyangkal apa yang terjadi, atau menyangkal bahwa hal itu akan berlanjut terus
2. Tahap II: marah dan menolak
Ketika seseorang tidak bisa lagi menyangkal, mereka cenderung pindah ke tahap marah, yang diikuti dengan penolakan secara langsung atau pun tersamar.
3. Tahap III: eksplorasi dan penerimaan
Pada tahap ini orang-orang sudah mulai agak tenang. Mereka berhenti menyangkal, dan meski masih sedikit marah, kemarahan mereka sudah bisa dikesampingkan. Mereka sudah lebih mengerti makna perubahan itu dan lebih bersedia mencari tahu lebih jauh, dan akhirnya menerima perubahan itu. Mereka lebih terbuka dan kini lebih tertarik untuk ikut merencanakan hal-hal sekitar perubahan itu dan ikut berpartisipasi dalam proses tersebut.
4. Tahap IV: komitmen
Tahap terakhir, di mana orang sudah bisa berkomitmen pada perubahan, dan bersedia bekerja untuk menyukseskan perubahan itu. Mereka memahami kenyataannya, dan pada titik ini mereka sudah beradaptasi dan ikut menyukseskan perubahan itu
Menurut Burke dalam Rosyid (2010), hal-hal yang mempengaruhi perubahan (di organisasi) adalah:
1. Sub sistem saling bergantung. Organisasi tanpa memperhatikan ketergantungan terhadapa keseluruhan organisasi, maka hasilnya kemungkinan besar tidak akan optimal
2. Pelatihan sebagai mekanisme perubahan tidak akan berhasil tanpa didukung dukungan mekanisme lainnya. Seperti dinyatakan Burke,”walau pelatihan mampu membawa perubahan individual pada kelompok kecil, namun tidak cukup bukti bahwa upaya-upaya untuk mengubah individu pada akhirnya mampu mengubah organisasi”.
3. Supaya sukses, organisasi mesti membuka sumbat dan mengarahkan energi serta bakat karyawannya. Lantaran mengubah pola norma-norma, sistem imbalan, dan struktur pekerjaan, maka harus dengan pendekatan perspektif organisasional, tidak sekedar perspektif individu dan kelompok.
Menurut Sztompka (1993), bila dipisah-pisah menjadi komponen dan dimensi utamanya, teori sistem secara tak langsung menyatakan kemungkinan perubahan sebagai berikut berikut:
1. Perubahan komposisi (misalnya, migrasi dari satu kelompok ke kelompok lain, menjadi anggota satu kelompok tertentu, pengurangan jumlah penduduk karena kelaparan, demobilisasi gerakan sosial, bubarnya suatu kelompok);
2. Perubahan struktur (misalnya terciptanya ketimpangan, kristalisasi kekuasaan, muculnya ikatan persahabatan, terbentuknya kerjasama atau hubungan kompetitif);
3. Perubahan fungsi (misalnya spesialisasi dan diferensiasi pekerjaan, hancurnya peran ekonomi keluarga, diterimanya peran yang diindoktrinasikan oleh sekolah atau universitas);
4. Perubahan batas (misalnya penggabungan beberapa kelompok, atau satu kelompok oleh kelompok lain, mengendurnya kriteria keanggotaan kelompok dan demokratisasi keanggotaan, dan penaklukan);
5. Perubahan hubungan antarsubsistem (misalnya penguasaan rezim politik atas organisasi ekonomi, pengendalian keluarga, dan keseluruhan kehidupan privat oleh pemerintahan totaliter);
6. Perubahan lingkungan (misalnya kerusakan ekologi, gempa bumi, munculnya wabah atau virus HIV, lenyapnya sistem bipolar internasional).
Terkait pemikiran tentang proses sosial yang melukiskan rentetan perubahan yang saling berkaitan, maka menurut Sztompka (1993), terdapat dua bentuk bentuk khusus proses sosial yaitu:
1. Perkembangan sosial
Melukiskan proses perkembangan potensi yang terkandung dalam sistem sosial, dengan tiga ciri tambahan (i) menuju ke arah tertentu dalam arti keadaan sistem tidak terulang lagi di setiap tingkatan; (ii) keadaan sistem pada waktu berikutnya mencerminkan tingkat lebih tinggi dari semula; (iii) perkembangan ini dipicu oleh kecenderungan yang berasal dari dalam sistem.
2. Peredaran sosial
Proses sosial ini tidak lagi menuju arah tertentu, tetapi juga tidak serampangan dengan ditandai dua ciri, yaitu (i) mengikuti pola edaran: keadaan sistem pada waktu tertentu kemungkinan besar muncul kembali pada waktu mendatang dan merupakan replika dari apa yang telah terjadi di masa lampau; (ii) perulangan ini disebabkan kecenderungan permanen di dalam sistem karena sifatnya berkembang dengan cara bergerak ke sana kemari.
Akibat terjadi perubahan, maka kebutuhan-kebutuhan manusia juga semakin berubah, baik dalam ragam, jumlah, dan bentuk-bentuk kebutuhannya (Mardikanto, 2010), dengan penjelasan sebagai berikut:
1. Ragam Kebutuhan
a. Pada masyarakat sederhana hanya membutuhkan tiga macam kebutuhan pokok (pangan, sandang, papan);
b. Semakin berkembangnya peradaban kebutuhan berubah bertambah dengan: pendidikan, kesehatan, rekreasi, transportasi, dan lain-lain;
c. Kebutuhan meningkat bukan hanya kebutuhan fisik, tetapi juga kebutuhan non fisik, seperti: spiritual, kebebasan, keadilan, gaya hidup, lain-lain.
2. Jumlah Kebutuhan
a. Kebutuhan pangan yang semula mengutamakan jumlah, ke arah pengurangan jumlah kepada yan lebih mengutamakan mutunya;
b. Kebutuhan pakaian, mengalami perubahan dari yang lebih mengutamakan mutu bahan (kekuatan) daripada jumlahnya dan ke arah keragaan fungsinya (pakaian sehari-hari, pakaian kerja, pakaian pesta, dan lain-lain);
c. Kebutuhan perumahan, yang semula mengutamakan luasan atau volume bangunan ke arah “minimalis” sesuai dengan fungsinya.
3. Bentuk dan kualitas kebutuhan
a. Untuk pangan, akhir-akhir ini terjadi perubahan dalam penyajian dan mutu bahan, seperti pangan vegetarian, fast food, junk food, pangan organik, dan lain-lain;
b. Untuk pakaian, mengalami perubahan rancangan-perubahan rancangan (design, mode) sesuai dengan tempat dan waktu penggunaannya, serta kualitas atau mutu bahan baku yang diperlukan dan cara/teknologi yang diperlukan untuk membuat pakaian tersebut;
c. Untuk perumahan, yang tidak lagi “patuh” terhadap arsitektur tradisional ke arah arsitektur dari negara lain, seperti: Eropa, Mediteran, Jepang, dan lain-lain.
Pada era globalisasi ini, perubahan cenderung cepat sehingga Ronald Higgins dalam The Seventh Enemy (1978), menggambarkan bahwa perubahan yang sangat cepat akan menyebabkan manusia mengalami krisis dalam kehidupannya, diantaranya adalah krisis lingkungan, krisis energi, krisis pangan, dan krisis moral.
Penyuluhan pembangunan/pemberdayaan masyarakat juga merupakan proses perubahan. Menurut Mardikanto (2010), kegiatan pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk mengubah perilaku penerima manfaat, baik pengetahuannya, sikapnya, atau keterampilan. Dengan demikian, metode yang diterapkan harus mampu merangsang penerima manfaat untuk selalu siap (sikap dan pikiran) dan dengan suka-hati atas kesadaran atau pertimbangan nalarnya sendiri melakukan perubahan-perubahan demi perbaikan mutu hidupnya sendiri, keluarga, dan masyarakatnya.
Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakekat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan. Hirschmann dalam Wikipedia, mengatakan bahwa, kebosanan manusia sebenarnya merupakan penyebab perubahan. Namun di sisi lain, (Mardikanto, 2010) selaras dengan peradaban manusia, telah terjadi perubahan-perubahan di dalam kehidupan manusia yang apabila ditinjau dari sifatnya, yaitu:
1. Perubahan alami;
2. Perubahan kondisi lingkungan fisik;
3. Perubahan yang terjadi sebagai akibat ulah atau perilaku manusia di dalam kehidupan sehari-hari.
Dampak globalisasi telah menyebabkan perubahan yang sangat cepat dalam berbagai sektor kehidupan, baik sebagai: (1) pribadi, yang antara lain adaptasi, perubahan kebutuhan, orientasi karir, pola konsumsi maupun pola adaptasi, lingkungan; (2) lingkungan keluarga; (3) masyarakat; (4) industri; (5) organisasi; dan bahkan komunitas yang lebih luas lagi yaitu (6) bangsa dan negara.
Menurut Rahardjo (2010), para ilmuwan sosial membedakan perubahan dalam masyarakat menjadi 3 jenis, yaitu:
1. “Perubahan peradaban”, biasanya dikaitkan dengan perubahan unsur-unsur atau aspek yang lebih bersifat fisik, seperti mesin-mesin, pakaian, sarana komunikasi, transportasi, bangunan rumah, dan sebagainya yang berjalan cepat;
2. “Perubahan budaya”, menyangkut aspek rohaniah, seperti keyakinan, nilai-nilai, pengetahuan, dan penghatan seni;
3. Perubahan sosial, menunjuk pada perubahan aspek-aspek hubungan sosial, pranata-pranata masyarakat dan pola perilaku kelompok.
Apabila terkait dengan perubahan sosial, maka menurut Wikipedia dijelaskan bahwa perubahan sosial dapat berupa (1) Perubahan sosial dan (2) perubahan kultur/budaya. Perubahan sosial budaya adalah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat. Antara manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat dilepaskan dengan kebudayaan itu sendiri. Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi dalam setiap masyarakat.
Terkait dengan arah perubahan, apabila ditinjau dari perubahan masyarakat dapat dianalisa dari berbagai segi, diantaranya: ke ”arah” mana perubahan dalam masyarakat itu “bergerak” (direction of change), dalam arti perubahan itu bergerak meninggalkan faktor yang diubah. Akan tetapi setelah meninggalkan faktor itu mungkin perubahan itu bergerak kepada sesuatu bentuk yang baru sama sekali, atau bergerak kepada suatu bentuk yang sudah ada di dalam waktu yang lampau.
Menurut Sztompka (1993), ruang lingkup perubahan terkait dengan pemikiran sistem, adalah:
1. Tingkat makro yaitu keseluruhan masyarakat dunia;
2. Tingkat menengah (mezo) yaitu negara bangsa dan kesatuan politik regional atau aliansi militer;
3. Tingkat mikro, yaitu komunitas lokal, asosiasi, perusahaan, keluarga, atau ikatan pertemanan.
Apabila dilihat dari proses perubahan, misalnya perubahan sosial biasanya terdiri dari tiga tahap, yaitu:
1. Invensi, yakni proses di mana ide-ide baru diciptakan dan dikembangkan
2. Difusi, yakni proses di mana ide-ide baru itu dikomunikasikan ke dalam sistem sosial
3. Konsekuensi, yakni perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem sosial sebagai akibat pengadopsian atau penolakan inovasi. Perubahan terjadi jika penggunaan atau penolakan ide baru itu mempunyai akibat.
Menurut Chandra (2010), tahapan yang terjadi dalam menghadapi perubahan, sebagai berikut:
1. Tahap I: menyangkal
Strategi awal yang biasa digunakan orang dalam menghadapi perubahan adalah menyangkal apa yang terjadi, atau menyangkal bahwa hal itu akan berlanjut terus
2. Tahap II: marah dan menolak
Ketika seseorang tidak bisa lagi menyangkal, mereka cenderung pindah ke tahap marah, yang diikuti dengan penolakan secara langsung atau pun tersamar.
3. Tahap III: eksplorasi dan penerimaan
Pada tahap ini orang-orang sudah mulai agak tenang. Mereka berhenti menyangkal, dan meski masih sedikit marah, kemarahan mereka sudah bisa dikesampingkan. Mereka sudah lebih mengerti makna perubahan itu dan lebih bersedia mencari tahu lebih jauh, dan akhirnya menerima perubahan itu. Mereka lebih terbuka dan kini lebih tertarik untuk ikut merencanakan hal-hal sekitar perubahan itu dan ikut berpartisipasi dalam proses tersebut.
4. Tahap IV: komitmen
Tahap terakhir, di mana orang sudah bisa berkomitmen pada perubahan, dan bersedia bekerja untuk menyukseskan perubahan itu. Mereka memahami kenyataannya, dan pada titik ini mereka sudah beradaptasi dan ikut menyukseskan perubahan itu
Menurut Burke dalam Rosyid (2010), hal-hal yang mempengaruhi perubahan (di organisasi) adalah:
1. Sub sistem saling bergantung. Organisasi tanpa memperhatikan ketergantungan terhadapa keseluruhan organisasi, maka hasilnya kemungkinan besar tidak akan optimal
2. Pelatihan sebagai mekanisme perubahan tidak akan berhasil tanpa didukung dukungan mekanisme lainnya. Seperti dinyatakan Burke,”walau pelatihan mampu membawa perubahan individual pada kelompok kecil, namun tidak cukup bukti bahwa upaya-upaya untuk mengubah individu pada akhirnya mampu mengubah organisasi”.
3. Supaya sukses, organisasi mesti membuka sumbat dan mengarahkan energi serta bakat karyawannya. Lantaran mengubah pola norma-norma, sistem imbalan, dan struktur pekerjaan, maka harus dengan pendekatan perspektif organisasional, tidak sekedar perspektif individu dan kelompok.
Menurut Sztompka (1993), bila dipisah-pisah menjadi komponen dan dimensi utamanya, teori sistem secara tak langsung menyatakan kemungkinan perubahan sebagai berikut berikut:
1. Perubahan komposisi (misalnya, migrasi dari satu kelompok ke kelompok lain, menjadi anggota satu kelompok tertentu, pengurangan jumlah penduduk karena kelaparan, demobilisasi gerakan sosial, bubarnya suatu kelompok);
2. Perubahan struktur (misalnya terciptanya ketimpangan, kristalisasi kekuasaan, muculnya ikatan persahabatan, terbentuknya kerjasama atau hubungan kompetitif);
3. Perubahan fungsi (misalnya spesialisasi dan diferensiasi pekerjaan, hancurnya peran ekonomi keluarga, diterimanya peran yang diindoktrinasikan oleh sekolah atau universitas);
4. Perubahan batas (misalnya penggabungan beberapa kelompok, atau satu kelompok oleh kelompok lain, mengendurnya kriteria keanggotaan kelompok dan demokratisasi keanggotaan, dan penaklukan);
5. Perubahan hubungan antarsubsistem (misalnya penguasaan rezim politik atas organisasi ekonomi, pengendalian keluarga, dan keseluruhan kehidupan privat oleh pemerintahan totaliter);
6. Perubahan lingkungan (misalnya kerusakan ekologi, gempa bumi, munculnya wabah atau virus HIV, lenyapnya sistem bipolar internasional).
Terkait pemikiran tentang proses sosial yang melukiskan rentetan perubahan yang saling berkaitan, maka menurut Sztompka (1993), terdapat dua bentuk bentuk khusus proses sosial yaitu:
1. Perkembangan sosial
Melukiskan proses perkembangan potensi yang terkandung dalam sistem sosial, dengan tiga ciri tambahan (i) menuju ke arah tertentu dalam arti keadaan sistem tidak terulang lagi di setiap tingkatan; (ii) keadaan sistem pada waktu berikutnya mencerminkan tingkat lebih tinggi dari semula; (iii) perkembangan ini dipicu oleh kecenderungan yang berasal dari dalam sistem.
2. Peredaran sosial
Proses sosial ini tidak lagi menuju arah tertentu, tetapi juga tidak serampangan dengan ditandai dua ciri, yaitu (i) mengikuti pola edaran: keadaan sistem pada waktu tertentu kemungkinan besar muncul kembali pada waktu mendatang dan merupakan replika dari apa yang telah terjadi di masa lampau; (ii) perulangan ini disebabkan kecenderungan permanen di dalam sistem karena sifatnya berkembang dengan cara bergerak ke sana kemari.
Akibat terjadi perubahan, maka kebutuhan-kebutuhan manusia juga semakin berubah, baik dalam ragam, jumlah, dan bentuk-bentuk kebutuhannya (Mardikanto, 2010), dengan penjelasan sebagai berikut:
1. Ragam Kebutuhan
a. Pada masyarakat sederhana hanya membutuhkan tiga macam kebutuhan pokok (pangan, sandang, papan);
b. Semakin berkembangnya peradaban kebutuhan berubah bertambah dengan: pendidikan, kesehatan, rekreasi, transportasi, dan lain-lain;
c. Kebutuhan meningkat bukan hanya kebutuhan fisik, tetapi juga kebutuhan non fisik, seperti: spiritual, kebebasan, keadilan, gaya hidup, lain-lain.
2. Jumlah Kebutuhan
a. Kebutuhan pangan yang semula mengutamakan jumlah, ke arah pengurangan jumlah kepada yan lebih mengutamakan mutunya;
b. Kebutuhan pakaian, mengalami perubahan dari yang lebih mengutamakan mutu bahan (kekuatan) daripada jumlahnya dan ke arah keragaan fungsinya (pakaian sehari-hari, pakaian kerja, pakaian pesta, dan lain-lain);
c. Kebutuhan perumahan, yang semula mengutamakan luasan atau volume bangunan ke arah “minimalis” sesuai dengan fungsinya.
3. Bentuk dan kualitas kebutuhan
a. Untuk pangan, akhir-akhir ini terjadi perubahan dalam penyajian dan mutu bahan, seperti pangan vegetarian, fast food, junk food, pangan organik, dan lain-lain;
b. Untuk pakaian, mengalami perubahan rancangan-perubahan rancangan (design, mode) sesuai dengan tempat dan waktu penggunaannya, serta kualitas atau mutu bahan baku yang diperlukan dan cara/teknologi yang diperlukan untuk membuat pakaian tersebut;
c. Untuk perumahan, yang tidak lagi “patuh” terhadap arsitektur tradisional ke arah arsitektur dari negara lain, seperti: Eropa, Mediteran, Jepang, dan lain-lain.
Pada era globalisasi ini, perubahan cenderung cepat sehingga Ronald Higgins dalam The Seventh Enemy (1978), menggambarkan bahwa perubahan yang sangat cepat akan menyebabkan manusia mengalami krisis dalam kehidupannya, diantaranya adalah krisis lingkungan, krisis energi, krisis pangan, dan krisis moral.
Penyuluhan pembangunan/pemberdayaan masyarakat juga merupakan proses perubahan. Menurut Mardikanto (2010), kegiatan pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk mengubah perilaku penerima manfaat, baik pengetahuannya, sikapnya, atau keterampilan. Dengan demikian, metode yang diterapkan harus mampu merangsang penerima manfaat untuk selalu siap (sikap dan pikiran) dan dengan suka-hati atas kesadaran atau pertimbangan nalarnya sendiri melakukan perubahan-perubahan demi perbaikan mutu hidupnya sendiri, keluarga, dan masyarakatnya.
Langganan:
Postingan (Atom)