Senin, 22 November 2010

PENERIMA MANFAAT (BENEFICIARIES) PENYULUHAN DAN STAKEHOLDERS-NYA

PENERIMA MANFAAT (BENEFICIARIES) PENYULUHAN
DAN STAKEHOLDERS-NYA


PENERIMA MANFAAT DAN STAKEHOLDERS
Dalam arti luas penerima manfaat atau beneficiary adalah seseorang atau badan hukum yang menerima manfaat dari benefactor (sang penolong) (Wikipedia, 2010). Dalam Collins English Dictionary-Complete and Unabridged (HaperCollins Publisher, 2003), makna dari penerima manfaat adalah:
a. Arti luas: “a person who gains or benefit in some way from something”: seseorang yang mendapat keuntungan atau manfaat dalam beberapa hal dari segala sesuatu.
b. Dalam kesejahteraan sosial: “a person who receives government assistance social security beneficiary” : seseorang yang mendapatkan uang jaminan sosial dari bantuan pemerintah.
Stakeholders dalam arti luas adalah “a person, group, organization, or system who affects or can be affected by an organization’s actions”. (seseorang, grup, organisasi, atau sistem yang mempengaruhi atau dapat terpengaruh oleh suatu tindakan organisasi (Wikipedia, 2010).
Istilah stakeholders meluas dan dianggap menjadi idiom, ketika dituangkan konsep perencanaan partisipatif yang diawali dari kesadaran: “sebuah prakarsa pembangunan masyarakat sangat ditentukan oleh semua pihak yang terkait dengan prakarsa tersebut” (Wrihatnolo dan Dwidjowijoto, 2006).

PENERIMA MANFAAT DAN STAKEHOLDERS PENYULUHAN PERTANIAN

Dalam banyak kepustakaan penyuluhan (pertanian), selalu disebut adanya sasaran atau obyek penyuluhan pertanian, yaitu: petani dan keluarganya. Pengertian itu telah menempatkan petani dan keluarganya dalam kedudukan ”yang lebih rendah” dibanding para penentu kebijakan pembangunan pertanian, para penyuluh pertanian, dan pemangku kepentingan pembangunan pertanian yang lainnya (Mardikanto, 2010). Menurut Naskah Akademik Sistem Penyuluhan Pertanian (2005), maka sasaran penyuluhan pertanian menjadi tidak hanya petani dan keluarganya tetapi mencakup para pemangku kepentingan (stakeholders). Sasaran penyuluhan pertanian era Bimas adalah Kelompok Tani yang diistilahkan sebagai receiving mechanism dari Delivery system (Catur Sarana). Catur sarana yaitu:
1. Penyuluh Pertanian di Lapangan (PPL),yaitu sebagai pembawa informasi teknologi , mengajarkan pengetahuan dan keterampilan, mengikhtiarkan fasilitas, dan sebagainya melalui sistem kerja Latihan dan Kunjungan (LAKU) kepada kelompok tani;
2. BRI Unit Desa, sebagai penyedia Kredit BIMAS untuk kegiatan usahatani padi;
3. BUUD dan KUD sebagai penyedia sarana produksi, pupuk, pestisida dan sarana pertanian lainnya serta membeli gabah/beras dari petani;
4. KIOS, sebagai tempat penyaluran sarana produksi pertanian kepada petani.

Sasaran penyuluhan menurut UU No. 16 Tahun 2006, Bab III, Pasal 5 sebagai berikut:
1. Pihak yang paling berhak memperoleh manfaat penyuluhan meliputi sasaran utama dan sasaran antara;
2. Sasaran utama penyuluhan yaitu pelaku utama dan pelaku usaha;
3. Sasaran antara penyuluhan yaitu pemangku kepentingan lainnya, yang meliputi kelompok atau lembaga pemerhati pertanian, perikanan dan kehutanan serta generasi muda dan tokoh masyarakat.

Mardikanto (1996) mengganti istilah “sasaran penyuluhan” menjadi penerima manfaat (beneficiaries).

Dalam pengertian “penerima manfaat” tersebut, terkandung makna bahwa:

1. Berbeda dengan kedudukannya sebagai “sasaran penyuluhan”, sebagai penerima manfaat, petani dan keluarganya memiliki kedudukan yang setara dengan penentu kebijakan, penyuluh dan pemangku kepentingan agribisnis yang lain.
2. Penerima manfaat bukanlah obyek atau “sasaran tembak” yang layak dipandang rendah oleh penentu kebijakan dan para penyuluh, melainkan ditempatkan pada posisi terhormat yang perlu dilayani dan atau difasilitasi sebagai rekan sekerja dalam mensukseskan pembangunan pertanian.
3. Berbeda dengan kedudukannya sebagai “sasaran penyuluhan” yang tidak punya pilihan atau kesempatan untuk menawar setiap materi yang disuluhkan selain harus menerima/mengikutinya, penerima manfaat memiliki posisi tawar yang harus dihargai untuk menerima atau menolak inovasi yang disampaikan penyuluhnya.
4. Penerima manfaat tidak berada dalam posisi di bawah penentu kebijakan dan para penyuluh, melainkan dalam kedudukan setara dan bahkan sering justru lebih tinggi kedudukannya, dalam arti memiliki kebebasan untuk mengikuti ataupun menolak inovasi yang disampaikan oleh penyuluhnya.
5. Proses belajar yang berlangsung antara penyuluh dan penerima manfaatnya bukanlah bersifat vertikal (penyuluh menggurui penerima manfaatnya), melainkan proses belajar bersama yang partisipatip.

Dari pengertian tentang penyuluhan pertanian sebagai sistem agribisnis yang disampaikan oleh Mardikanto (2003), jelas bahwa kegiatan penyuluhan pertanian akan melibatkan banyak pemangku kepentingan (stakeholders).

Di samping itu, keberhasilan penyuluhan pertanian tidak hanya tergantung pada efektivitas komunikasi antara penyuluh dan petani beserta keluarganya, tetapi sering lebih ditentukan oleh perilaku/ kegiatan pemangku kepentingan pertanian yang lain, seperti: produsen sarana produksi, penyalur kredit usaha-tani, peneliti, akademisi, aktivis LSM, dll. yang selain sebagai agent of development sekaligus juga turut menikmati manfaat kegiatan penyuluhan pertanian.

Di pihak lain, banyak pengalaman menunjukkan bahwa kelambanan penyuluhan pertanian seringkali tidak disebabkan oleh perilaku kelompok “akar rumput” (grass-roots), tetapi justru lebih banyak ditentukan oleh perilaku, kebijakan dan komitmen “lapis atas” untuk benar-benar membantu/melayani (masyarakat) petani agar mereka lebih sejahtera.

Bertolak dari kenyataan-kenyataan tersebut, penerima manfaat penyuluhan pertanian dapat dibedakan dalam:

1. Pelaku utama. yang terdiri dari petani dan keluarganya.
Dikatakan demikian, karena pelaku utama usahatani adalah para petani dan keluarganya, yang selain sebagai juru-tani, sekaligus sebagai pengelola usahatani yang berperan dalam memobilisasi dan memanfaatkan sumberdaya (factor-faktor produksi) demi tercapainya peningkatan dan perbaikan mutu produksi, efisiensi usahatani serta perlindungan dan pelestarian sumberdaya-alam berikut lingkungan hidup yang lain.

2. Penentu kebijakan, yang terdiri dari aparat birokrasi pemerintah (eksekutif, legislatif dan yudikatif) sebagai perencana, pelaksana, dan pengendali kebijakan pembangunan pertanian. Termasuk dalam kelompok penentu kebijakan adalah, elit masya-rakat sejak di aras terbawah (desa) yang secara aktif dilibatkan dalam pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan pembangunan pertanian.

3. Pemangku kepentingan yang lain, yang mendukung/memperlancar kegiatan pembangunan pertanian. Termasuk dalam kelompok ini adalah,
a. Peneliti yang berperan dalam: penemuan, pengujian, dan pengembangan inovasi yang diperlukan oleh pelaku utama
b. Produsen sarana produksi dan peralatan/mesin pertanian, yang dibutuhkan untuk penerapan inovasi yang dihasilkan para peneliti
c. Pelaku-bisnis (distributor/penyalur/pengecer) sarana produksi dan peralatan/mesin pertanian yang diperlukan, dalam jumlah, mutu, waktu, dan tempat yang tepat, serta pada tingkat harga yang terjangkau oleh pelaku utama.
d. Pers, media-masa dan pusat-pusat informasi yang menyebar-luaskan informasi-pasar (permintaan dan penawaran serta harga produk yang dihasilkan dan dibutuhkan), inovasi yang dihasilkan para peneliti, serta jasa lain yang diperlukan pelaku utama
e. Aktivis LSM, tokoh masyarakat, dll yang berperan sebagi organisator, fasilitator, dan penasehat pelaku utama
f. Budayawan, artis, dan lain-lain yang berperan dalam diseminasi inovasi, serta promosi produk yang dihasilkan maupun yang dibutukan pelaku utama.

Istilah penerima manfaat dan pemangku kepentingan penyuluhan juga identik dengan “klien penyuluhan”. Menurut Lionberger dan Gwin (1982), para penyuluh perlu bekerjasama dengan berbagai pihak dalam kegiatan pelayanan pembangunan pertanian. Termasuk dalam kelompok ini adalah para penyalur pupuk, pestisida, pengembang benih, penyedia kredit dan mereka yang terlibat dalam lembaga-lembaga pertanian yang memiliki hubungan dengan pemerintah (seperti: koperasi, kelompok tani, Pusat Pelestarian Alam, dan sebagainya) atau sering disebut dengan “klien penyuluh”. Lembaga-lembaga pelayanan dan pemberi informasi yang baik, akan sangat membantu dalam pemberian informasi kepada petani.

Mosher dalam Lionberger dan Gwin (1982), menyebutkan adanya klien yang lain yang disebut sebagai pengatur (conditioner). Mereka itu tidak memiliki jabatan apa pun dalam kelembagaan pertanian maupun lembaga pelayanan, akan tetapi memegang/memiliki kedudukan dan pengaruh yang kuat dalam kehidupan masyarakat setempat. Termasuk di dalam kelompok pengatur ini adalah: para pemuka agama, pejabat lokal, dan politisi yang berpengaruh. Meskipun bukan merupakan unsure esensial, tetapi dukungan mereka sangat membantu pembangunan pertanian. Mereka ini, akan selalu memegang teguh segala informasi yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, pada umumnya. Himbauan-himbauan mereka, umumnya selalu dihormati atau ditaati oleh masyarakatnya. Meskipun demikian, mereka jarang mengharapkan imbalan atau berlaku eksploitatif.



DAFTAR PUSTAKA

______. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2006, tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Pusat Pengembangan Penyuluhan Pertanian. Badan Pengembangan SDM Pertanian. Jakarta.
Lionberger, Herbert F. and Gwin, Paul H. 1989. Comunication Strategies-A Guide for Agricultural Change Agents/ Strategi Komunikasi-Pedoman bagi Penyuluh Pertanian. (terjemahan: Totok Mardikanto). Sebelas Maret University Press. Surakarta.
Mardikanto, Totok. 2010. Sistem Penyuluhan Pertanian. Program Studi Pemberdayaan Masyarakat-Program Studi Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Wrihatnolo, Randy R dan Dwidjowijoto, Riant N. 2006. Manajemen Pembangunan Indonesia, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta.

1 komentar: